Laporan Praktikum Q

Senin, 25 Juli 2011

KISAH IFFAH


 
Zah, aku mau tobat. Rasanya aku sudah berdosa banget.

            Aku menyerngitkan kening, apa lagi yang terjadi dengan iffah. Tanpa pikir panjang langsung menekan tombol-tombol handphone membalas sms Iffah.

Memangnya kamu berbuat apa lagi…

Aku bener-bener terpengaruh pergaulan teman-teman, Zah. Aku  pacaran.

             Astagfirullah, seluruh persendianku lemah. Lama kutatap layar handphone, kubaca berlaki-kali sms iffah, berharap aku salah baca. Jantungku berdetak cepat, ini benar-benar terjadi. Sahabat yang ku kenal sejak SMA, seorang wanita yang sangat menjaga kehormatannya, seorang yang mengerti agama, melakukan hal itu. Beragam tanya mengelayuti pikiranku, kobaran rasa kecewa dan marah menyesakakan dada dan akhirnya hanya butiran bening yang jatuh.
            Seminggu lalu Iffah menceritakan pertahannanya untuk tidak pacaran benar-benar hancur. Lingkungan dan pergaulan teman-teman baru belum dapat diatasanya, hingga akhirnya ia terlibat hubungan pacaran. Aku fikir beribu-ribu nasehat yang kuberikan dapat membuatnya sadar dan tidak mengikuti pergaulan teman-temannya lagi, tapi nyatanya tidak semeskali. Huh,,Iffah mengapa kamu begini.

Zah, aku harus gimana??

            Sms Iffah membuyarkan lamunanku, kutarik nafas panjang, ku kumpulkan kembali kekuatan untuk membalas smsnya.

Besok ada waktu nggak? Kita bicara face to face aja.

Ba’da ashar, Zah…

Oke,,ditempat biasa yah!!

            Pikiranku kembali bermain. Jika mengikuti ego, jelas aku ingin memaki Iffah, meluapkan kekecewaanku. Tapi apakah itu penyelesaian yang baik untuknya, aku rasa tidak, hal itu hanya aka membuat Iffah semakin tertekan. Aku kembali mengingat perkataan ummi, ‘kita tidak dapat membuat seseorang sesuai dengan apa yang kita inginkan, bila ia meminta nasehat maka berikanlah, tapi jangan coba untuk mengaturnya karna dia bukan kita.’ Yah, kata-kata ummi ini yang slalu membuat  aku sadar bahwa orang lain tetaplah orang lain, kita tidak bisa merubahnya sesuai kehendak kita, kita hanya dapat berdo’a  karna Allah yang mengenggam hatinya. Yang biasa aku lakukan sekarang hanyalah menentukan sikap menghadapi kekecewaanku. Ku coba untuk lebih bijak Iffah butuh solusi dariku bukan caki maki. Kuraih buku kecil bersampul merah jambu, mencoba menari dengan pena diatasnya.

Ku jumpai pohon mawar yang layu..
Kuncupnya yang belum sempat mekar berguguran,,
Oleh hembusan angin dan guyuran hujan..

Tak seindah dulu..
Tapi apakah hanya dibiarkan seperti itu..
Pohon mawar tanpa bunga..

Mawarku,,tumbuh dan berkembanglah..
Hadirkan kembali kuncup-kuncup merah delima..
Yang kemudian merekah indah
Dengan aroma dan kesegaran bunga mawar

            Kututup lembaran merah muda. Kemudian beranjak mengambil air wudhu dan mendirikan sholat. Terasa syahdu sekali, teguranMu indah ya Rabb, Kau tunjukan kasih sayangMu dengan menujukkan betapa selama ini Kau menjaga kesucianku.
            ’Ya Allah, Engkaulah yang menggengam setiap hati. Bukakanlah hati saudariku untuk kembali pada jalanMu yang lurus, ampuni dosa-dosanya dan tetapkanlah kami dalam keistiqomahan.’
            Kurebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata. Saatnya memberikan hak tubuh untuk beristirahat, tumpukan tugas kuliah sudah tidak kupedulikan lagi.  Aku ingin istirahat.

***

            Rutinitas kuliah hari ini sudah selesai, aku langsung mementukan arah menuju tempat yang sudah dijanjikan uktuk bertemu Iffah. Tempat ini menjadi tempat kami untuk melepas penat sewaktu SMA dulu, walaupun berbeda SMA tapi aku cukup dekat dengannya dan disinilah tempat kami berbagi cerita. Ditepi danau ini, tepat dibawah pepohonan dengan hamparan rumput hijau. Biasanya tempat ini ramai oleh santriwati dari pondok pesantren, tetapi karna ini pekan ujian jadi mereka lebih memilih untuk tetap di asrama.
            ”Assalamu’alaikum.”sapa Iffah
            ”Wa’alaikumsalam warahmatullah.” balasku. Aku memberikan senyuman dan kami bersalaman, cipika cipiki kemudian Iffah duduk disampingku. Lama kami saling membisu. Merasakan hembusan angin yang membelai jilbab kami.
            ”Kenapa sampai separah itu, Fa?” tanyaku memecah keheningan.
            ”Aku terpaksa, Zah. Teman-teman bilang aku nggak dewasa. Akhirnya aku.......” suaranya serak menahan tangis.
            ”Ikutan mereka biar dibilang dewasa, gitu? Kamu tau khan agama kita melarang itu. Kamu ingat surah An-nur ayat 31, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” potongku dan tangis Iffah pun pecah.
            “Aku nggak tau kenapa sampai seperti itu Zah, aku seperti kehilangan kotrol. Aku nggak punya teman yang bisa mengingatkan Zah. Hampir semua teman-teman aku seperti itu. Kalau aku nggak ikutan, aku nggak ditemanin.”
            ”Sebenarnya kamu takut sama Allah atau sama mahluknya sih Fa? Kamu nggak malu Fa, dulu menentang habis-habisan hubungan itu, sekarang malah melakukannya.” aku bertatapan dengan Iffah.
            ”Aku malu Izzah, tapi namanya sudah kesetanan.”
           
Suasana mulai tidak enak. Kami terbawa emosi. Aku diam sesaat menghela nafas, meredamkan emosi. Bagaimanapun juga emosiku tidak akan menyelesaikan masalah Iffah. Kami terdiam, taman pun hening karna hanya ada kami berdua disini. Yang terdengar hanya isak Iffah yang begitu menyayat. Ya Allah apa yang harus ku lakukan.

”Sekarang masih mau lakukan itu?”
            Nggak lah zah, aku mau tobat, aku nyesal banget. Tapi aku nggak tau gimana caranya biar bisa lepas dari hal yang mulai biasa ini.” ucapnya sambil menagis.
            ”Kamu putuskan hubungan dan kurangi komunikasi yang nggak penting. Cari aktivitas yang buat kamu bisa melupakan dia.” aku berusaha bijak.
            ”Tapi dia pasti nggak mau putus, Zah.”
            ”Iffah,,aku rasa kamu cukup dewasa untuk hal ini, coba bicarakan secara baik-baik. Berusahalah untuk konsisten dengan prinsipmu. Dia justru akan menghargaimu kalau kamu konsisten dengan prisipmu. Gitu juga sama teman-temanmu. Percaya deh,,awalnya aku juga kesulitan beradapatasi dikampus dengan adanya perbedaan prinsip. Tapi aku berusaha untuk pelan-pelan menyampaikanya baik melalui perkataan ataupun perbuatan. Perlahan meraka dapat mengerti dan saling menghargai. Kita nggak bisa menyalahkan keadaan Fa, itu semua atas kehendak Allah, Dia tempatkan kita dalam kondisi seperti ini karna Dia  ingin tau seberapa besar keimanan kita. Lagian mereka itu sebenarnya baik, hanya saja mungkin mereka tidak tau.” tuturku pelan.
            ”Imanku lemah banget ya Zah. Hina banget rasanya aku sekarang.” ucapnya lemah dan kembali menangis.

Kami terdiam, kembali menikmati suasana ditepi danau ini. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku memikirkan apa yang hendakku ucapkan untuk menghibur Iffah. Sebenarnya aku prihati, Iffah seperti ini bukan sepenuhnya kesalahannya, keadaan keluarganyalah yang membuatnya begini. Tapi apakah harus melakukan itu. Ah, Iffah.

            ”Fa, coba deh kamu pandang langit. Disana ada awan putih yang menutupi warna biru langit. Nah, gitu juga manusia seperti halnya langit yang tak pernah luput dari awan, manusia juga tidak luput dari dosa. Namun hembusan angin perlahan membawanya pergi tanpa bekas dan hamparan warna biru dapat kita nikmati. Kita dapat menghapusnya dengan bertobat nasuha, menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan melakukanya lagi. Allah maha Pengampun Iffah.” tuturku sambil mentap langit.
            ”Fa, ada saatnya untuk menikmati hal itu, bahkan berbuah pahala. Yaitu ketika.....” kami bertatapan.
            ”Ketika akad tlah terucap.” sambung Iffah.
            ”Benar sekali Iffah. Jadi sekarang tinggal pilih mau yang dapat dosa atau pahala.” aku tersenyum.
             ”Fa, bukankah makanan enak terasa lebih nikmat setelah seharian berpuasa daripada setelah seharian yang sudah berkali-kali makan makanan enak, jadi kita jadikan masa-masa ini seperti berpuasa. Dan ingat satu hal Fa, kamu terlalu berharga untuk dinikmati oleh sembarang orang. Jangan buat orang tua kecewa dengan tindakan seperti itu, kewajiban kita sekarang menuntut ilmu bukan melakuakan hal-hal seperti itu.” sambungku lagi.
            ”Iya, zah. Aku bener-bener nyesal. Makasih ya zah. Kamu tetap mau jadi teman aku khan.” kami berpandangan dan aku tersenyum mengiyakan.

Hari mulai gelap, kami beranjak meninggalkan taman dan seperti biasa menyisakan kisah antara aku dan Iffah. Semoga kamu bener-benar bartobat Fa.

0 komentar: