Laporan Praktikum Q

Jumat, 30 Desember 2011

HARI KAMIS DIAKHIR TAHUN

                Matahari mulai merangkak malas, kabut pun masih enggan beranjak. Bita termangu dibalik tirai jendela, memandang lagit yang masih kelabu. Berusaha melukis senyum dalam getir perih yang masih ia rasa. Dalam sesak jiwa dan raga, mengepal satu harap. Hari ini jangan terulang lagi!
                Bita bergegas menuju kampus. Ia mendapat jadwal kuliah lebih pagi dari biasannya. Menyusuri jalanan kota Samarinda yang mulai akrab dengan kepadatan dan polusi. Udara dingin pagi ini memaksannya untuk selalu setia dengan baju hangat saat dalam perjalanan.
                “Ramenya bubuhannya di FB tadi malam.” Sapa Meldy.
                “Iya, lagi galau mel.”
                “Pantasan hari mendung terus, lagi banyak yang galau pang.”
                “Masa aku nggak bisa tidur sampai jam 2. Jadi nggapain yok.” Sahut Mentari.
                “Nyuci aku.” Sambung Mentari sambil memperagakan gerakan mencuci.
                “Mending, aku jam setengah 2 mandi.” Tambah Bita.
                “Hah.” Seru teman-teman Bita serentak.
                “Maka dingin bujur tadi malam tu.” Timpal Devi.
                “Iya, tapi pusing aku. Jadi mandi aja, habis tu baru aku tidur.”
                “Iya, memang biasanya habis mandi baru enak badan mau tidur.” Sahut Jingga.
                Keakraban menyambut Bita, berbagi kisah menjadi hal menarik perhatian teman-temannya sebelum memulai perkuliahan. Sepenggal kisah kembali memberi warna pada kanvas waktu yang terus berlalu.
***
                Materi asam nukleat sebenarnya cukup menarik perhatian Bita. Ia merasakan kebesaran Allah dari materi perkuliahan tersebut. Satu hal saja, tetang DNA. Ia sadar betapa Maha Besar Allah telah menciptakan manusia dan tiba-tiba saja ia teringat hubungan manusia dan saripati tanah. Meski begitu, tetap sulit bagi Bita untuk berkonsentrasi. Rasa kantuk terus mengelayuti dan udara dingin menambah alasan pecahnya konsentrasi Bita. Walau berat pada akhirnya perkuliahan pun berlalu.
                Seharusnya hari ini Bita mendapatkan 2 mata kuliah. Tapi karna beberapa hal, ia hanya mendapatkan satu mata kuliah. Bita dan teman-temannya tidak langsung pulang. Banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan. Sebenarnya Bita tidak terlibat diskusi kelompok, beberapa tugasnnya direncanakan akan diselesaikan besok. Ia sibuk terjun dalam maya, berselancar menjelajah alam maya.
                “Minggu ini kita santai betul, tapi pang minggu depan asli tebantai dah.” Ucap Rani.
                Pekan ini perkuliahan Bita memang terbilang sangat santai dibandingkan dengan minggu-minggu yang telah berlalu. Bagaimana tidak sejak hari Selasa sampai hari Kamis ini, hanya ada 1 mata kuliah dalam sehari. Meski begitu, tidak sesantai yang dibayangkan. Tututan seperti tugas masih menyertai Bita dan teman-temannya.
***
                Telah merasa puas menjelajah maya, Bita berpamitan dengan teman-temannya. Ia segera bergegas meninggalkan kampus sepuluh menit sebelum azan dhuhur berkumandang. Harusnya saat ini matahari terlihat garang, tapi kali ini justru sangat pemalu dengan bersembunyi dibalik awan-awan kelabu. Ah, sudahlah. Justru cuaca seperti ini mendukungnya untuk menyusuri kota Samarinda.
                Sesampainya ditempat tujuan, Bita memeriksa handphonenya yang berkali-kali berdering dalam perjalanan. Bita membaca satu persatu nasehat singkat yang ia terima. Sudah menjadi rutinitas, setiap hari Bita akan mendapatkan nasehat-nasehat singkat dari beberapa sumber. Bita bersyukur, masih ada orang yang rela meluangkan waktu untuk membantu ia menjaga keimanan.
Barang siapa yang menempu jalan dalam menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalan menuju surga. (HR. Tirmizi)

Abu Darda berkata: “Bersikap adillah terhadap telinga dan lidah. Kamu diberi 2 telingan dan 1 lidah agar lebih banyak mendengar daripada berbicara. (Mukhtashar Minhajil Qosidin 215).
     Bita sempat termangu, merenungi nasehat terakhir. Sulit tapi bukan tidak mungkin. Ia akan belajar untuk itu. Tak pikir panjang lagi, Bita segera melangkah dari area parkir. Seperti niatnya, hanya mencari barang yang ia butuhkan, setalah barang itu ia beli, Bita langsung melangkah pulang  tanpa harus mengelilingi pusat perbelanjaan ini. Matanya yang sembari pagi meminta untuk tertutup memaksa Bita untuk segera pulang.
Perjalanan pulang terasa sangat panjang, kepadatan lalulintas membuat perjalanan menjadi terasa semakin panjang. Bita menyebar pandangannya pada taman-taman di tepi sungai Mahakam, rumput hijau dan warna-warni bunga cukup membuatnya merasa rileks ditengah-tengah kepadatan lalulintas.
***
                Sesampainya dirumah, Bita mengurungkan niatnya untuk tidur. Ada rasa mengelitik bibirnya untuk berbagi kisah dengan ibu. Alhamdulillah, sedikit penat jiwanya lepas. Ibu memang menjadi tempat berbagi Bita, ia senang ibu selalu menyediakan kedua telinganya untuk mendengarkan kisah Bita. Dari keluh pada raga sampai kepenatan jiwa ia ceritakan.
                “Kemaren ibu dapat foto mamamu sama bapakmu dilipatan baju.” Ucap ibu tiba-tiba.
                Bak tersengat listrik, Bita benar-benar terkejut. Sempat beberapa detik ia menghentikan aktivitas yang sembari tadi ia jalani. Terdiam, mencari kata dan sikap yang tepat. Bita takut ibunya tersinggung, jika tau bahwa ia masih kerap merindukan mama kandungnya. Yah, Bita telah lama ditinggal ibu kandungnya. Sejak usia TK, ibu kandung Bita telah meninggal dunia. Dan ayah Bita menikah lagi ketika Bita duduk dibangku kelas 1 SD, istri ayahnya itulah yang Bita sebut ibu.
                Meski sulit memilih sikap yang tepat akhirnya Bita mampu menghadapi ibunya. Mencoba menjelaskan dengan singkat dan mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya hati Bita semakin merintih, belum pulih lukanya justru tersiram kenangan masa lalu. Kerinduang mulai memenuhi sukamanya. Namun bukan Bita jika tak mampu mengendalikan masalah seperti ini. Ia terus beralih pada pembahasan lain dan bergabung dalam keceriaan adik-adiknya.
                Handphone Bita kembali berdering. Satu pesan singkat dari salah satu sahabatnya. Bita tau ini hari spesial untuk sahabatnya itu. Namun entahlah, seperti sedang membuat misteri. Pikiran Bita tak bisa ditebak.
***
                Suasana yang selalu Bita rindukan adalah saat semua anggota keluarga berkulumpul tak hanya kehadiran fisik tapi juga ruh yang turut serta. Sore ini, Bita larut dalam kehangatan keluarganya. Menikmati hasil alam bersama ayah, ibu dan adik-adiknya seperti ini benar-benar sesuatu yang  Bita dambakan. Indahnya. Semoga kehangatan ini tetap terjaga. Meski ada satu bagian yang tak ikut bersama. Mungkin suatu hari nanti ia akan hadir.


Kamar kecil bernuansa merah jambu..
Kota Tepian, 29 Desember 2011, 21:04

Rabu, 28 Desember 2011

NYATANYA TAK ADA ISTANA YANG SEMPURNA


Presentasi yang dilanjutkan dengan diskusi teman-teman, cukup menyamarkan bisikan Jingga yang mencurahkan kerapuhan hatinya. Pikiranku melayang, bukan aku tak mendengarkan. Hanya terbawa dalam daftar panjang ketidak sempurnaan istana.
                Aku kerap membanyangkan kesempurnaan istana. Hangat, penuh cinta dan keceriaan. Aku berpikir seorang anak yang masih memiliki orang tua lengkap dan selalu mendapat perhatian dari orangtuanya, telah mendapatkan kesempurnaan istana. Tapi nyatanya tidak. Setiap istana slalu memiliki sisi yang rapuh. Hanya saja terlihat sempurna oleh sikap pemilik istana itu.
                “Setiap keluarga pasti ada masalah.” Tutur ibu.
                Yah, aku mulai menyadarinya ketika satu persatu daftar ketidak sempurnaan istana terisi. Tidak semua yang terlihat menyenangkan dimata kita, juga menyenangkan dimata orang lain. Aku melihat dari sudut pandang seorang anak. Jika di satu sudut ada seorang anak yang tidak ingin diatur dalam menentukan masa depan, maka di sisi lain seorang anak sangat berharap orangtua mereka dapat lebih mengarahkan dan tidak melepas mereka begitu saja. Di sisi lain ada seorang anak yang merasa enggan mendapatkan dekapan hangat orangtuanya maka di sisi lain ada seorang anak yang haus akan belaian hangat orangtuanya. Dan ketika seorang yang mengeluhkan keadaannya maka di sisi lain ada yang ingin merasakan berada dalam keadaan tersebut. Syukur, mungkin itu dapat membuat orang merasa cukup dengan yang telah ia peroleh.
                Masalah hidup terkadang sama, yang membuatnya berbeda adalah sikap menghadapi masalah tersebut. Caranya memandang masalah dan penyelesaian yang dia buat.
“Aku capek, Yan. Bapakku selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ada atau nggak ada beliau dirumah sama aja. Yang dilakukan cuma fokus sama kerjaannya, kadang semalam suntuk main game. Nggak pernah peduli sama kami, anak-anaknya. Yang beliau tau hanya memberi uang.” keluh Mala suatu ketika.
                “Emmm, sama aja Mal, bapakku juga gitu dirumah. Pernah terlambat masuk kerja cuma gara-gara main game.”
                “Masa sih? Trus kamu nggak masalah gitu?”
                “Iya nggak gitu, masalah sih. Tapi aku coba mengalihkan perhatiannya. Khan komputer ada dikamarku, jadi aku bilang. ‘pak aku mau tidur’ jadi bapakku keluar. Hehe”
                “Hmmm, gitu sih enak. Kalau semua fasilitas sudah punya masing-masing khan jadi repot.”
                Terlihat masalah aku dan Yana mirip, tapi dia terlihat santai dan tidak terlalu menganggap masalah besar. Sebenarnya aku tidak menganggap bagian ini masalah besar, hanya saja aku tidak rela kehilangan sesuatu yang pernah aku miliki, terlebih hal itu direnggut oleh mesin. Perhatian papa direngut oleh mesih. Hah, yang benar saja. Yah, begitulah nyatanya!
                Nyatanya saat ini, banyak orangtua yang lebih sibuk dengan pekerjaan mereka dari pada memperhatikan anak-anaknya. Aku tidak menyalahkan orangtua, tapi itu realita. Seberapapun aku mencoba untuk memahami posisi mereka, tetap saja pada titik tertentu terjatuh juga.
                Era globalisasi merubah pola hidup. Emansipasi merubah suasana rumah. Tak hanya seorang ayah tapi juga ibu yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Tuntutan sosial dan ekonomi membuat waktu untuk keluarga berkurang. Orangtua melepas anak-anaknya mengikuti berbagai macam bimbingan diluar rumah dan merasa semua itu cukup untuk masa depan mereka, benarkah?. Lalu apakah bimbingan dari orangtua meraka sendiri menjadi tidak penting? Menyerahkan anak sepenuhnya pada orang lain untuk dibimbing. Begitukah? Rumah seolah hanya menjadi tempat untuk tidur. Pembelajaran, kehagatan dan kedamaian yang seharusnya ada seolah menguap bersama kesibukan masing-masing.
                “Aku tu kasian sama bapakku, Mal. Masa pulang-pulang bukannya dikasih makan malah diomeli sama mama ku, disuruh nyuci baju dulu baru makan.” Keluh Jingga.
                “Kok bisa?”
                “Mama kubilang, dia capek ngurusi rumah. Katanya kami enak pulang-pulang langsung makan, nggak tau gimana capeknya ngurus rumah.” Ucap jingga sambil terisak.
                “Mama kamu ibu rumah tangga khan. Adek kamu juga sudah besar. Ibuku juga ibu rumah tangga, adek ku masih kecil-kecil tapi nggak pernah aku dengar ibu mengeluh gitu.”
                “Padahal aku tau bapakku pasti capek, dari pagi sampe sore kerja. Kami keluar rumah khan bukan untuk senang-senang. Pulang malah di sambut kek gitu.” Air mata jingga tak hentinya mengalir.
Aku ikut merasakan kesedihan jingga, bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Emansipasi kah?. Aku tidak tau pasti alasan mengapa ada seorang ibu yang seperti itu, mungkin karna kejenuhannya. Yah, mungkin saja. Jenuh dengan rutinitasnya yang terkadang tak dihiiraukan hingga menuntut untuk diperhatikan. Lagi-lagi perhatian. Sampai saat ini aku mengatakan betapa pentingnya perhatian. Perhatian seorang ayah kepada anak dan istri, pehatian ibu kepada anak dan suami serta perhatian anak kepada orangtuanya, yah minimal itu harus ada. Tapi nyatanya? Mungkin ada hanya dengan cara yang berbeda.
“Kasih sayang itu nggak selamanya di tunjukkan dengan belaian. Kalau anaknya sudah besar masa mau ditimang-timang.” Tutur papa yang dapat membuatku terseyum.
“Kalau anaknya sudah besar ya bisa di tunjukkan dengan memenuhi kebutuhannya, memperhatikan pendidikannya.” Sambung papa.
Cara seperti inilah yang terkadang tak dipahami seorang anak. Penilaian yang berbeda membuat perhatian itu seperti tidak ada. Harapan keduanya yang tak sejalan sehingga bentuk kasih sayang tersamarkan. Yang diperlukan adalah pengertian. Mengerti satu sama lain. Yah, mungkin ini salah satu kunci istana menjadi terlihat sempurna selain perhatian.
Aku berbicara seperti ini bukan untuk menyalahkan orangtua atau siapapun, bukan pula mengajari siapapun. Hanya ingin mereka tau perasaan anak yang mungkin posisi ini sedang dihadapi anak mereka. Seseorang pernah mengeluhkan orangtuanya yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan, hingga waktu berlibur yang biasa mereka rasakan hanya menjadi kenangan masa lalu. Orangtuanya yang merasa kebahagiaan anak terjamin dengan uang yang dia berikan. Uang yang diberikan tidaklah dapat menggantikan arti kehadiran ayah dan ibu bagi seorang anak. Harta memang dapat membuat orang bahagia, tapi harta bukan sumber kebahagiaan.


Kota tepian, 13 Desember 2011

KISAH DUKAKU


Kota Tepian, 28 Desember 2011, 01.45 AM

Malam kian larut, tapi Bita masih saja mematung dibalik jendela kamarnya. Pandanganya lurus menembus awan-awan kelabu dihamparan langit malam, mencari satu kerlip bintang. Namun tak ada satupun kerlip bintang terlihat, awan kelabu terlalu tebal untuk ditembus. Rautnya melukiskan gurat kesedihan. Kehilangan dan merindukan sesuatu yang pernah dinikmati. Sayangnya baru ia sadari betapa berharganya pemberian Tuhan itu. Ah, semua memang telah berlalu.
Bita meraih buku kecil bersampul merah jambu, menaburkan kata yang kemudian menyusunnya menjadi kalimat dalam doa.
Tuhan. Mereka sahabat-sahabat terbaik yang pernah aku temui. Ketulusan mereka sungguh tak tertandingi..
Tuhan, sayangi mereka. Mereka  yang membantuku mengenal-Mu lebih dekat, mengajarkanku cinta pada-Mu. Maka sayangilah mereka, dekap mereka dalam mahabbah-Mu. Masukkanlah mereka dalam surga-Mu dan jadikanlah mereka ratu dari para bidadari surga..
Tuhan, mereka sahabat-sahabat yang tulus. Tulus menerima apa adanya diriku, meskipun banyak gores-gores kecewa yang ku toreh..
 Tuhan Kau lihat, betapa baiknya mereka, maka aku mohon jadikanlah mereka bagian dari penghuni surga..
Tetesan air mata Bita jatuh membasahi lembaran merah jambu, teramat perih kah luka yang dirasa atau kerinduan yang teramat membuncah. Tidak tau pasti. Sulit untuk mengartikan perasaannya saat ini. Terlalu banyak kemelut rasa, tercampur aduk hingga sulit memilih satu kata yang tepat untuk mewakilkan perasaan. Biarlah hanya air mata yang menjabarkan sesak jiwanya.
***
Selama ini Bita berada dalam ikatan persahabatan yang indah, sahabat-sahabat yang pengertian dan selalu mengajaknya pada kebaikan. Tawa canda, curahan hati dan kobaran semangat mencari ilmu menghiasi persahabatannya. Indah walaupun tetap tak dapat terlepas oleh gores luka. Namun hebatnya luka itu tak sempat menjadi parah, selalu saja terobati oleh benih-benih kebaikan.
Beruntung. Yah, mungkin memang itu kata yang tepat untuk melukiskan posisi Bita. Bagaimana tidak, memiliki sahabat yang dapat mengerti ketika sedih, susah, senang dan selalu mengajak pada kebaikan serta selalu siap membantu adalah impian terdalam dari setiap jiwa.
                Namun roda kehidupan teruslah berputar. Adakalanya Tuhan kembali menyuguhkan kegetiran hati agar insan dapat menghargai sebuah ketentraman. Tuhan sedang membawa Jingga pada satu sisi kehidupan yang akan membuatnya mengerti nikmat-Nya. Mengajarkan tentang kelapangan hati dan menujukkan warna-warni kehidupan.

Kota Tepian, 28 desember 2011, 16.09 PM
                Sebuah kesyukuran tak terhingga ketika ia membuka mata, bagi sebagian orang terbangun pagi hanyalah hal biasa. Tapi tidak bagi Bita, malam panjang yang ia lewati membuat pagi menjadi sangat  berarti. Memulai rutinitas dengan harapan. Mencoba tersenyum dalam kegetiran, bukanlah hal mudah. Namun semua tetap terlewati meski ada gores-gores kecewa pada dirinya sendiri.
Inilah universitas kehidupan, perihnya hati, sesal, bahagia adalah pelajaran-pelajaran yang terkandung didalamnya. Hari ini gagal maka esok akan diuji kembali, terus dan terus hingga akhirnya berhasil menemukan kunci untuk melewati ujian tersebut.
Langit mendung menemani istirahat Bita. Ada kelegaan sekaligus kegundahan menyelimuti hatinya. Ada ketentraman yang sempat membelai lembut hatinya, lantunan syahdu ayat-ayat suci Al-Qur’an dari wanita yang ia hormati sanggup memberikan kesejukan pada jiwanya yang gersang. Kembali dalam majelis ilmu adalah penawar luka, tapi lisan yang tak terkendali bagai cambuk baginya dan orang lain. Ah, ada saja puing-puing dosa yang menumpuk hari ini. Menambah  deret panjang bagian diri yang harus diperbaiki.
Meski aku tau kata maaf mungkin tidak sanggup menghapus lukamu, tapi aku berharap kau tau akan penyesalanku.

Kota Tepian, 28 Desember 2011, 17.03 PM
                Bita terus saja memandang langit dibalik tirai jendela kamarnya. Sama halnya dengan hati Bita yang seolah ingin menumpahkan airmata, langitpun terlihat kelabu dan bergemuruh. Kegetiran hati mulai dapat ia jabarkan, meski berat menuangkannya dalam kata.
                Aku tau, aku bukanlah malaikat suci tak berdosa..
                Aku tau betapa diriku teramat hina..
                Tapi..
Haruskah begini caranya..
                Haruskah pandanganmu berisyarat dengan yang lain untuk melakukan persetujuan akan kesalahanku, lalu menoleh dan senyum manis padaku..
Sungguh aku persilahkan untuk menyambuk hatiku..
Tapi aku mohon, jangan menutupi lukisan gunung dosaku dari diriku sendiri..
Cambuk hatiku dengan tanganmu sendiri..
Jangan lenakan dengan senyum manis, sungguh aku dapat merasakan isyaratmu dengan yang lain..
Jatuh sudah air mata itu, tak dapat lagi ia membendung perih. Entah mengapa seolah alam turut merasakan guncangan hatinya. Air langit pun berjatuhan bersama petir yang memecah keheningan. Bita membisu dalam linangan air mata. Ada penyesalan dan kecewa yang ingin ia tumpahkan. Sungguh, jika ingin berhenti sejenak melihat diri, maka air mata takkan hentinya untuk menagisi kesalahan-kesalahan yang tlah diperbuat.
Ya Rabb, sebelum waktu itu tiba. Aku mohon, ampuni segala dosa-dosaku.

Teringat kamu :)

Setelah membaca beberapa lembaran novel AAC. Entah mengapa aku ingin merangkai kata dari kenangan yang telah terlewati. Kehadiran pertamamu, memberi kekuatan pada jiwaku yang rapuh. Sapa hangat dan untaian nasehatmu mampu mengusap air mata. Aku pikir hanya sampai disitu. Tapi ternyata tidak. Skenario Tuhan membawa aku untuk lebih mengenalmu. Awalnya tidak tau pasti hikmah apa yang tersimpan, namun berjalannya waktu aku mulai dapat meraba maksud Tuhan. Sungguh, aku belajar keteguhan darimu!

Aku adalah seorang anak yang selalu menuntut untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk bayanganku tetang istana. Aku kerap tersiksa dengan keinginanku untuk dapat menikmati kedamaian dalam istana impian. Istana yang utuh, penuh kedamaian dan kasihsayang. Namun ingin itu berbanding terbaling dengan kenyataan bahwa istanaku tak lagi utuh. Dengan mengenalmu, aku mulai mengerti bahwa banyak istana yang tak sesempurna bayangku. Kesadaran itu membuka mataku, hingga detik ini banyak tersimpan daftar ketidak sempurnaan istana. Nyatanya memang tidak ada istana yang sesempurna banyanganku, setiap istana pasti memiliki sisi yang rapuh. Namun istana dapat terlihat sempurna karna sikap pemilik istana tersebut.

Terimakasih, untukmu yang kusapa ukhti. Pelajaran berharga aku peroleh. Mungkin banyak orang yang memberikanya, namun terasa berbeda karna aku berpikir mereka tidak merasakan apa yang aku rasa. Tapi dari kisahmu, aku menemukan sebuah ketegaran dalam menjalani hidup, meski aku tau kau menahan perih yang teramat dalam. Dari hal itu aku belajar, untuk berhenti menuntut dan menerima alur dari peran yang harus aku jalani.

Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang sia-sia didunia ini, maka aku akan membenarkannya. Memang tidak ada yang sia-sia, termasuk alur cerita yang kita jalani. Semua ada hikmahnya dan aku percaya itu!

Kota Tepian, 23 Desember 2011, 23.44 PM