PROSES PEMBUATAN MADING
Hari senin saat liburan sekolah, aku dan tim mading yang beberapa hari lalu tlah di bentuk akan mulai merancang mading 3 dimensi yang akan diikutkan lomba. Dengan celana jeans ketat, baju kaos lengan pendek dan pastinya tanpa jilbab aku melangkahkan kaki menuju ruang OSIS, tempat kami berjanji untuk bertemu.
Sebenarnya jika sedang mengenakan seragam sekolah aku selalu mengenakan jilbab. Ada beberapa alasan akan hal itu, yang pasti faktor utama adalah peraturan sekolah. Sekolahku merupakan sekolah umum, tetapi kental dengan agama. Saat aku masih kelas X, selain wajib mengikuti mentoring setiap hari jum’at, juga tertera peraturan murid perempuan muslim wajib mengenakan jilbab setiap hari Senin, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Sedangkan hari Selasa dan Rabu kami bebas, boleh tetap mengenakannya atau tidak. Saat itu aku semeskali tidak tertarik dengan jilbab. Meskipun begitu aku sudah terbiasa dengan jilbab sejak SD karna ada satu hari juga yang mewajibkan aku untuk mengenakan seragam lengkap dengan jilbab, selain itu aku juga biasa mengenakan jilbab ketika TPA, jadi jilbab bukan sesuatu yang asing bagiku. Hanya saja mengenakannya dengan seragam sekolah putih abu-abu membuatku sedikit aneh. Namun hari-hari berlalu, akhirnya aku terbiasa dengannya. Prinsipku ketika itu, ketika dari rumah aku mengenakan jilbab maka ketika pulang ke rumah pun aku harus mengenakan jilbab. Jadi sebisa mungkin aku akan tetap mengenakan jilbab sampai pulang, saat itu juga aku selalu mengenakan jilbab yang harus dibentuk sendiri, maksudnya jilbab segi 4 yang harus dibentuk sendiri ketika ingin dikenankan. Entahlah mengapa aku kurang menyukai jilbab langsung pakai, padahal ketika itu teman-temanku lebih menyukainya.
Saat menginjak kelas XI aku berniat untuk selalu berjilbab jika mengenakan seragam sekolah. Selain karna sudah terbiasa dan merasa kurang nyaman jika tidak mengenakannya. Pada saat itu juga peraturan jilbab di sekolahku berubah, hari yang bebas untuk tidak mengenakan jilbab hanya pada hari Rabu, sedangkan hari-hari yang lain wajib bagi murid yang muslim untuk mengenakan jilbab. Jadi karna merasa tanggung lebih baik aku pakai saja jilbabku setiap hari. Kelas XI ini, ibu ingin membelikanku jilbab langsung pakai. Karna sering melihatku selalu memakan waktu memakai jilbab. Akhirnya aku pun menyetujuinya, saat itu aku memilih jilbab yang agak panjang. Maksudnya jilbab yang menjulur hingga bawah dadaku, aku sengaja tidak memilih yang biasa dikenakan teman-temanku, aku merasa tidak cocok jika mengenkan jilbab yang hanya menutupi sampai bagian leher. Aneh memang, padahal aku belum tahu semeskali bagaimana aturan berjilbab, yang aku tahu hanya jilbab itu wajib titik, selebihnya aku tidak tahu semeskali. Saat mentoring pun aku tidak pernah diberi tahu bagaimana tata cara berjilbab.
Balik lagi kecerita awal. Sesampaiku di ruang OSIS sudah ada Febry dan Echy. Aku memperhatikan penampilan Echy khas sekali dengan anak ROHIS, mengenakan rok dan jilbab panjang. Aku menyapanya dengan senyuman, kemudian menghampiri Febry untuk mendapat penjelasan mengenai konsep mading yang akan kami buat. Setelah mengerti, kami mulai membagi tugas. Karna harus membuat kerangka terlebih dulu, maka aku dan Echy tidak dapat mengambil alih banyak. Jadi Febry yang mengambil bagian pekerjaan ini, sedangkan aku dan Echy hanya mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Sepertinya Febry sengaja memberi tugas yang sama untuk aku dan Echy agar kami dapat saling kenal dan akrab. Rencananya sukses tak memakan waktu lama, aku mulai merasa nyaman dengan Echy, dugaanku bahwa anak ROHIS itu kaku salah besar, Echy asik dan enak diajak bercanda.
***
Disekolah tak hanya ada kami yang sedang membuat mading tapi juga ada tim nasyid ‘IKHWAN VOICE’ yang berlatih untuk lomba yang sama-sama diadakan oleh PUSDIMA. Proses pembuatan mading tak lepas dari adanya anak-anak Ikhwan Voice. Selain karena acara yang kami ikuti sama, juga karena salah satu personilnya merupakan anggota tim ku. Febry merupakan personil baru Ikhwan Voice. Jadi tak heran disela tim nasyid berlatih, mereka sering mengunjungi kami, bercanda dan mengomentari mading yang kami buat. Aku sering memperhatikan mereka. Mereka berbeda. Yah, secara fisik mereka menampilkan ciri yang berbeda dengan yang lainnya. Aku jarang sekali bergaul dengan anak-anak ROHIS, sehingga ini untuk pertama kalinya aku melihat mereka tidak mengenakan seragam sekolah. Sebenarnya aneh melihat mereka, tidak ada acara islami tapi mengenakan baju koko. Tak hanya itu, setiap kali mendekati waktu sholat, kegitan kami dihentikan dan diajak menuju mushola untuk sholat berjamaah. Subhanlallah. Jarang sekali aku menemukan situasi seperti ini.
***
Ada rasa tidak nyaman ketika membuat mading. Karna aku merupakan satu-satunya perempuan yang tidak mengenakan jilbab. Namun perasaan itu kerap aku abaikan dan tetap berusaha percaya diri dengan penampilanku. Walau begitu aku berusaha untuk tidak lagi mengenakan pakaian berlengan pendek, entahlah, aku benar-benar merasa malu dengan penampilanku yang terlalu terbuka.
***
Suatu ketika, sehari sebelum perlombaan. Liburan tlah usai, jadi aku kembali kesekolah dengan serangam putih abu-abu dan jilbab putihku. Tetap seperti hari-hari sebelumnya aku dan tim ku merampungkan mading yang akan diikutkan lomba besok. Karna menurut target hari ini kami akan lembur sampai malam, maka ketika pulang sekolah aku meminta izin pulang untuk ganti baju.
Sesampaiku kembali disekolah, masih sangat ramai. Terlebih, saat itu tempat kami membuat mading dipenuhi dengan akhwat-akhwat ROHIS. Tik tok. Rasa percaya diriku seperti hilang tertiup angin, rasa tidak nyaman benar-benar memakan konsentrasiku. Berada diantara meraka membuat aku merasa seperti tidak mengenakan pakaian. Terlebih saat ibu Ismi (guru bahasa Arab sekaligus pembina akhwat ROHIS) menegurku.
“Yaaa..dibuka jilbabnya.” Sapa Bu Ismi saat aku baru melangkah masuk.
Aku hanya mampu tersenyum dan duduk di sudut ruangan dengan beberapa artikel dan majalah Islami milik Echy. Ada perguatan batin yang menyesakkan dada. Seperti terhempas dan merasa kecil sekali. Aku seperti orang yang sangat berdosa karna tidak mengenakan jilbab diantara mereka. Sampai-sampai aku tak punya nyali untuk menegur.
“Ndri, kesini. Ikut makan bareng.” Sapa salah satu akhwat ROHIS menawarkan gorengan.
“Eh, iya makasih. Makan aja.” Aku tersadar dari lamunan.
“Ayolah, jangan malu-malu.” Ajaknya lagi dan diikuti beberapa akhwat lain.
“Iya dech.” Khawatir mereka akan tersinggung, akhirnya aku mengalah dan duduk diantara mereka.
***
Pembuatan mading benar-benar sampai malam. Tapi kali ini tidak ada akhwat-akhwat ROHIS tadi. Hanya ada aku, Echy, Ocha, Febry, personil Ikhwan Voice dan Kak Najib pelatih nasyid sekaligus seniorku di teater. Mading sudah sekitar 90% selesai. Hanya tinggal menempel artikel-artikel dan mencoba permainan-permainan yang kami buat. Sampai jam 10 malam, kami menyudahinya untuk istirahat mempersiapkan tenanga untuk besok.
Sesampai dirumah Echy sms, memberitahukan pakaian yang akan kami kenakan besok. Seragam batik dan jilbab hitam segi tiga. Hum, aku biasa mengenakan jilbab hitam yang langsung pakai dan panjangnya pun hanya sampai sebatas dada. Kalau harus mengenakan jilbab hitam yang segi tiga otomatis jilbabku akan tampak lebih besar. Aku kembali membongkar tumpukan jilbab dilemari. Beruntung ketika TPA dulu aku mempunyai jilbab hitam yang segi tiga. Jilbab ketika SD akan ku kenakan lagi. Hum.
*Sepenggal Kisah Perjalanan Jilbabku*
Kota Tepian, 5 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar