Laporan Praktikum Q

Kamis, 08 Maret 2012

SATU DUKA YANG TERKUAK DALAM HENING MALAM

Malam kian larut, sisa hujan sesekali memainkan nada pilu. Hembus angin malam terasa semakin menyesakkan. Bita masih duduk disudut kamarnya sambil mengatur nafas yang tersenggal. Menatap langit malam dan menikmati sisa hujan.

Tuhan..peluk aku sebentar..
Aku lelah dengan semua ini..
Kemana kan ku cari ketulusan??
Nyaris tak dapat ku bedakan lagi antara senyum tulus dan kepalsuan..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Aku lelah dengan semua ini..
Dunia menuntut untuk selalu benar dan mengutuk ketika salah..
Padahal kesalahan serupa kerap mereka lakukan..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Tak tau lagi kepada siapa ku bisikkan rintih jiwa..
Saat semua telah memalingkan muka..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Tertatih ku berdiri..
Mengukir senyum dalam perihnya hati..

Bita sengaja mengurai duka dalam kata dan membagikannya pada beberapa orang temanya melalui pesan singkat. Sesaat kemudian handphonenya berdering. Bita hanya metatap layar yang berkelap-kelip sampai kembali redup, tanda panggilan berakhir. Kemudian segera ia raih sebelum panggilan selanjutnya masuk.

“Aku nggak bisa angkat telpon ma. Nafasku agak sesak.” Balas bita

“Kamu kok belum tidur. Laporannya belum selesai kah.”

“Laporannya memang nggak bisa diselesaikan sekarang. Ni masih coba belajar untuk pre test besok. Tadi coba aja bikin kata-kata :).” Bita mencoba menutupi dukanya.

“Semoga pre testnya dimudahkan. Jangan tidur terlalu malam. Mending tidur cepat bangun lagi subuh.”

“Iyaa..makasih yaa. Met rehat.”

“Iya kamu juga.”

Pembicaraan melalui pesan singkat itu mampu membuat Bita sejenak mengalihkan pikirannya. Meski sebenarnya  ia sedang membendung air mata. Menahan luka yang telah lama ia rasa dan belum menemukan penawar.

Ia kembali teringat sebuah kalimat ‘semua orang sepertinya memakai topeng’. Ah, nafasnya semakin terasa sangat menyesakkan. Pantaskah kecewa ia rasa. Pantaskah ia menangisi setiap episode yang penuh dengan kepalsuan.

Bita kembali mengatur nafas. Menarik selimut dan berniat tidur, namun belum sempat ia terlelap handphonenya kembali berdering. 1 pesan.

“Tuhan peluk aku sebentar.. Ijinkan aku untuk memberi yang terbaik untuk mereka, meski pahit, aku yakin pertolonganMu dekat. Tuhan peluk aku sebentar.. Ku rindu dengan kebersamaan menguatkan tuk selalu dekat denganMu. Tuhan peluk aku sebentar.” Tersenggal-senggal Bita membaca pesan singkat dari sahabatnya.  Air matanya telah membajir sejak awal membuka pesan itu. Ada luka lain yang terkuak. Semakin perih. Sungguh.

“Tuhan aku lelah. Sungguh tak mampu lagi ku bedakan ketulusan dan kepalsuan. Tuhan aku lelah tersenyum dalam getirnya perih yang kurasakan. Tuhan aku lelah. Berpura-pura tak tau akan topeng yang ia pakai. Tuhan aku lelah. Membangun percaya yang terus menerus dihancurkan.” Air mata Bita semakin membanjir bersama kata yang tersusun.

Kembali pesan Bita mendapatkan balasan. Beberapa kata untuk bersabar terpampang dari layar handphonnya. Innallaha ma’ana. Allah bersamaku. Yah, Bita tau Allah akan selalu bersamanya. Hanya Allah tidak pernah meninggalkannya. Hanya Allah yang selalu setia mendengar keluh kesahnya. Mungkin selama ini Bita-lah yang lalai atau menuntut lebih. Mungkin!

Tapi satu hal yang ia tau pasti Allah sedang megajarkannya tentang satu lagi bagian kehidupan. Memberi rasa sakit agar dapat menghargai satu kebahagiaan.

“Ya Rabb, kuatkan aku.” Bisiknya. Lalu kembali mencoba untuk tidur.
               


Kota tepian, 7 Maret 2012

Senin, 05 Maret 2012

TANYA AKAN CINTA

Sejenak Bita terdiam, menatap monitor. Pandangannya lurus menerawang. Seperti sedang menghadapi suatu perdebatan. Ada pemikiran yang sedang berkecamuk di benaknya. Tetang cinta.

Yah C-I-N-T-A sebuah kata yang sangat-sangat sering terdengar. Banyak definisi tentang cinta, tapi definisi itu takkan pernah cukup untuk mengartikan cinta. Banyak yang memuja cinta di awal namun mengutuk di akhir. Tak sedikit pula yang bertekuk lutut hanya karna cinta dan banyak pula yang menjadi tegar karnanya.

Bita mungkin sangat buta akan cinta, sehingga ia harus berpikir keras untuk mencari jawaban setiap tanya akan cinta.

Jika cinta adalah ketulusan, mengapa banyak yang menuntut lebih?

Jika cinta adalah kejujuran, mengapa banyak yang memakai topeng kepalsuan?

Jika cinta adalah anugerah, mengapa banyak hati yang terluka karnanya?

Jika cinta adalah tujuan, mengapa banyak yang berpaling setalah memilikinya?

Jika cinta adalah kepercayaan, mengapa selalu menyimpan kecurigaan?

Bita membawa langkahnya menuju teras rumah. Sejenak ia menikmati setiap hembusan angin. Langit sore ini terlihat sangat teduh menenangkan. Berharap ia akan temukan jawaban. Mencoba menerka arti kehadiran cinta.

“Begitu dasyat kah cinta, aku nggak habis pikir cuma karna sebuah kata cinta seseorang rela mengorbankan apa saja.” Gumamnya.

Seseorang pernah memberi Bita nasehat bahwa jangan mencoba-coba untuk jatuh cinta. Karna ketika telah terjerat didalamnya akan sangat sulit untuk terlepas.

Seperti itu kah? Bukankah cinta sesuatu yang tak dapat diprediksi kedatangannya. Bahkan tanpa di sadari sebenarnya cinta itu sedang bersemi. Seberapapun kokoh tembok yang dibangun, cinta tetap dapat menyusup. Ia teringat putri Rasulullah saja pernah jatuh cinta. Yang membedakannya dengan yang lain adalah sikapnya ketika jatuh cinta. Yah, sikap yang dipilih ketika jatuh cinta. Apakah ingin mengatur perasaan itu atau membiarkan perasaan itu yang mengatur. Mengatur perasaan. Mungkin itu yang dilakukan putri Rasulullah terhadap Ali. Hingga akhirnya cinta itu menjadi halal. Meski sebelumnya satu sama lain tak pernah tau mereka saling jatuh cinta.

Kali ini Bita setuju, ketika cinta itu menyusup maka bukan itu diperangi tapi dijamu dengan cara yang benar. Bukan menyelam didalamnya, tapi berlayar diatasnya. Bukankah cinta itu seperti pedang jika pandai dalam menggunakannya maka akan melindungi tetapi jika tidak maka akan melukai.

Bita kembali termenung. Sebuah tanya kembali menjejali pikirannya. Apa tujuan mereka yang bermain dengan cinta? Jika cinta itu murni dengan tujuan yang suci. Mengapa harus dipermainkan? Jika sama-sama ingin hanya dirinya seorang yang dihati. Mengapa mengukir nama yang lain?

Ah, entahlah. Cinta itu seperti langit, kadang memberi keteduhan namun dapat pula mengadirkan badai............................................

Kota Tepian, 4 Maret 2012