Laporan Praktikum Q

Senin, 25 Juli 2011

KISAH IFFAH


 
Zah, aku mau tobat. Rasanya aku sudah berdosa banget.

            Aku menyerngitkan kening, apa lagi yang terjadi dengan iffah. Tanpa pikir panjang langsung menekan tombol-tombol handphone membalas sms Iffah.

Memangnya kamu berbuat apa lagi…

Aku bener-bener terpengaruh pergaulan teman-teman, Zah. Aku  pacaran.

             Astagfirullah, seluruh persendianku lemah. Lama kutatap layar handphone, kubaca berlaki-kali sms iffah, berharap aku salah baca. Jantungku berdetak cepat, ini benar-benar terjadi. Sahabat yang ku kenal sejak SMA, seorang wanita yang sangat menjaga kehormatannya, seorang yang mengerti agama, melakukan hal itu. Beragam tanya mengelayuti pikiranku, kobaran rasa kecewa dan marah menyesakakan dada dan akhirnya hanya butiran bening yang jatuh.
            Seminggu lalu Iffah menceritakan pertahannanya untuk tidak pacaran benar-benar hancur. Lingkungan dan pergaulan teman-teman baru belum dapat diatasanya, hingga akhirnya ia terlibat hubungan pacaran. Aku fikir beribu-ribu nasehat yang kuberikan dapat membuatnya sadar dan tidak mengikuti pergaulan teman-temannya lagi, tapi nyatanya tidak semeskali. Huh,,Iffah mengapa kamu begini.

Zah, aku harus gimana??

            Sms Iffah membuyarkan lamunanku, kutarik nafas panjang, ku kumpulkan kembali kekuatan untuk membalas smsnya.

Besok ada waktu nggak? Kita bicara face to face aja.

Ba’da ashar, Zah…

Oke,,ditempat biasa yah!!

            Pikiranku kembali bermain. Jika mengikuti ego, jelas aku ingin memaki Iffah, meluapkan kekecewaanku. Tapi apakah itu penyelesaian yang baik untuknya, aku rasa tidak, hal itu hanya aka membuat Iffah semakin tertekan. Aku kembali mengingat perkataan ummi, ‘kita tidak dapat membuat seseorang sesuai dengan apa yang kita inginkan, bila ia meminta nasehat maka berikanlah, tapi jangan coba untuk mengaturnya karna dia bukan kita.’ Yah, kata-kata ummi ini yang slalu membuat  aku sadar bahwa orang lain tetaplah orang lain, kita tidak bisa merubahnya sesuai kehendak kita, kita hanya dapat berdo’a  karna Allah yang mengenggam hatinya. Yang biasa aku lakukan sekarang hanyalah menentukan sikap menghadapi kekecewaanku. Ku coba untuk lebih bijak Iffah butuh solusi dariku bukan caki maki. Kuraih buku kecil bersampul merah jambu, mencoba menari dengan pena diatasnya.

Ku jumpai pohon mawar yang layu..
Kuncupnya yang belum sempat mekar berguguran,,
Oleh hembusan angin dan guyuran hujan..

Tak seindah dulu..
Tapi apakah hanya dibiarkan seperti itu..
Pohon mawar tanpa bunga..

Mawarku,,tumbuh dan berkembanglah..
Hadirkan kembali kuncup-kuncup merah delima..
Yang kemudian merekah indah
Dengan aroma dan kesegaran bunga mawar

            Kututup lembaran merah muda. Kemudian beranjak mengambil air wudhu dan mendirikan sholat. Terasa syahdu sekali, teguranMu indah ya Rabb, Kau tunjukan kasih sayangMu dengan menujukkan betapa selama ini Kau menjaga kesucianku.
            ’Ya Allah, Engkaulah yang menggengam setiap hati. Bukakanlah hati saudariku untuk kembali pada jalanMu yang lurus, ampuni dosa-dosanya dan tetapkanlah kami dalam keistiqomahan.’
            Kurebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata. Saatnya memberikan hak tubuh untuk beristirahat, tumpukan tugas kuliah sudah tidak kupedulikan lagi.  Aku ingin istirahat.

***

            Rutinitas kuliah hari ini sudah selesai, aku langsung mementukan arah menuju tempat yang sudah dijanjikan uktuk bertemu Iffah. Tempat ini menjadi tempat kami untuk melepas penat sewaktu SMA dulu, walaupun berbeda SMA tapi aku cukup dekat dengannya dan disinilah tempat kami berbagi cerita. Ditepi danau ini, tepat dibawah pepohonan dengan hamparan rumput hijau. Biasanya tempat ini ramai oleh santriwati dari pondok pesantren, tetapi karna ini pekan ujian jadi mereka lebih memilih untuk tetap di asrama.
            ”Assalamu’alaikum.”sapa Iffah
            ”Wa’alaikumsalam warahmatullah.” balasku. Aku memberikan senyuman dan kami bersalaman, cipika cipiki kemudian Iffah duduk disampingku. Lama kami saling membisu. Merasakan hembusan angin yang membelai jilbab kami.
            ”Kenapa sampai separah itu, Fa?” tanyaku memecah keheningan.
            ”Aku terpaksa, Zah. Teman-teman bilang aku nggak dewasa. Akhirnya aku.......” suaranya serak menahan tangis.
            ”Ikutan mereka biar dibilang dewasa, gitu? Kamu tau khan agama kita melarang itu. Kamu ingat surah An-nur ayat 31, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” potongku dan tangis Iffah pun pecah.
            “Aku nggak tau kenapa sampai seperti itu Zah, aku seperti kehilangan kotrol. Aku nggak punya teman yang bisa mengingatkan Zah. Hampir semua teman-teman aku seperti itu. Kalau aku nggak ikutan, aku nggak ditemanin.”
            ”Sebenarnya kamu takut sama Allah atau sama mahluknya sih Fa? Kamu nggak malu Fa, dulu menentang habis-habisan hubungan itu, sekarang malah melakukannya.” aku bertatapan dengan Iffah.
            ”Aku malu Izzah, tapi namanya sudah kesetanan.”
           
Suasana mulai tidak enak. Kami terbawa emosi. Aku diam sesaat menghela nafas, meredamkan emosi. Bagaimanapun juga emosiku tidak akan menyelesaikan masalah Iffah. Kami terdiam, taman pun hening karna hanya ada kami berdua disini. Yang terdengar hanya isak Iffah yang begitu menyayat. Ya Allah apa yang harus ku lakukan.

”Sekarang masih mau lakukan itu?”
            Nggak lah zah, aku mau tobat, aku nyesal banget. Tapi aku nggak tau gimana caranya biar bisa lepas dari hal yang mulai biasa ini.” ucapnya sambil menagis.
            ”Kamu putuskan hubungan dan kurangi komunikasi yang nggak penting. Cari aktivitas yang buat kamu bisa melupakan dia.” aku berusaha bijak.
            ”Tapi dia pasti nggak mau putus, Zah.”
            ”Iffah,,aku rasa kamu cukup dewasa untuk hal ini, coba bicarakan secara baik-baik. Berusahalah untuk konsisten dengan prinsipmu. Dia justru akan menghargaimu kalau kamu konsisten dengan prisipmu. Gitu juga sama teman-temanmu. Percaya deh,,awalnya aku juga kesulitan beradapatasi dikampus dengan adanya perbedaan prinsip. Tapi aku berusaha untuk pelan-pelan menyampaikanya baik melalui perkataan ataupun perbuatan. Perlahan meraka dapat mengerti dan saling menghargai. Kita nggak bisa menyalahkan keadaan Fa, itu semua atas kehendak Allah, Dia tempatkan kita dalam kondisi seperti ini karna Dia  ingin tau seberapa besar keimanan kita. Lagian mereka itu sebenarnya baik, hanya saja mungkin mereka tidak tau.” tuturku pelan.
            ”Imanku lemah banget ya Zah. Hina banget rasanya aku sekarang.” ucapnya lemah dan kembali menangis.

Kami terdiam, kembali menikmati suasana ditepi danau ini. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku memikirkan apa yang hendakku ucapkan untuk menghibur Iffah. Sebenarnya aku prihati, Iffah seperti ini bukan sepenuhnya kesalahannya, keadaan keluarganyalah yang membuatnya begini. Tapi apakah harus melakukan itu. Ah, Iffah.

            ”Fa, coba deh kamu pandang langit. Disana ada awan putih yang menutupi warna biru langit. Nah, gitu juga manusia seperti halnya langit yang tak pernah luput dari awan, manusia juga tidak luput dari dosa. Namun hembusan angin perlahan membawanya pergi tanpa bekas dan hamparan warna biru dapat kita nikmati. Kita dapat menghapusnya dengan bertobat nasuha, menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan melakukanya lagi. Allah maha Pengampun Iffah.” tuturku sambil mentap langit.
            ”Fa, ada saatnya untuk menikmati hal itu, bahkan berbuah pahala. Yaitu ketika.....” kami bertatapan.
            ”Ketika akad tlah terucap.” sambung Iffah.
            ”Benar sekali Iffah. Jadi sekarang tinggal pilih mau yang dapat dosa atau pahala.” aku tersenyum.
             ”Fa, bukankah makanan enak terasa lebih nikmat setelah seharian berpuasa daripada setelah seharian yang sudah berkali-kali makan makanan enak, jadi kita jadikan masa-masa ini seperti berpuasa. Dan ingat satu hal Fa, kamu terlalu berharga untuk dinikmati oleh sembarang orang. Jangan buat orang tua kecewa dengan tindakan seperti itu, kewajiban kita sekarang menuntut ilmu bukan melakuakan hal-hal seperti itu.” sambungku lagi.
            ”Iya, zah. Aku bener-bener nyesal. Makasih ya zah. Kamu tetap mau jadi teman aku khan.” kami berpandangan dan aku tersenyum mengiyakan.

Hari mulai gelap, kami beranjak meninggalkan taman dan seperti biasa menyisakan kisah antara aku dan Iffah. Semoga kamu bener-benar bartobat Fa.

RENUNGAN MALAM


KETIKA AKU TERINGAT TENTANG KEMATIAN

                Melepas penat dengan menikmati angin sore di teras mulai menjadi kebiasaanku sekarang, memandang langit dan melihat kelincahan kedua adik ku yang asik bermain dan dengan celotehan yang tak ada hentinya, sesekali diringi tangisan dan teriakan di antara keduanya, menjadi suatu hiburan tersendiri. Terkadang aku lelah mendengar celoteh renyah yang keluar dari bibir mungil itu namun terkadang aku pun rindu dibuatnya.
                Sore tadi  terasa semakin ramai dengan hadirnya bocah-bocah dari depan rumahku. Mataku tertuju pada anak laki-laki bertubuh gempal dengan sepedanya berkali-kali melintas dihadapanku. Dafa namanya, usianya kini telah mengijak 6 tahun. Celotehnya memang tak semelengking adik-adikku, gerakannya tak selincah adik laki-lakiku, namun kehadirannya cukup menarik perhatian. Memandaginya mengingatkanku pada kejadian setahun silam. Saat itu aku baru selesai mengucapkan salam dan aku rasa masih terlalu dini untuk menerima tamu.                 
Dari kejauhan terdengar suara laki-laki yang terus menerus menyebut nama Papaku dan meminta tolong. Semakin lama semakin mendekat. Dan kata-katanya semakin jelas bahwa orang tersebut memang bener-bener membutuhkan pertolongan Papaku. Teriakan itu jelas membuat suasana rumahku geger. Setelah memastikan bahwa sumber suara itu memang ditujukan kerumahku, maka aku segera bangkit dan melangkahkan kaki untuk membuka pintu, namun baru beberapa langkah Papa dan Ibuku sedah lebih dulu mencapai pintu rumah dan keluar menemui sumber suara tersebut.
“Pak, tolong aku pa.” Ucap laki-laki tua tetangga depan rumahku. Hatiku bergetar. Ada apa gerangan, suaranya begitu parau menahan tangis.
“Tolong aku.” Ucapnya lagi dan kali ini tangisnya pecah. Papaku membukakan pagar, ibuku mematung di depan pintu dan akupun hanya berdiri dibalik tirai jendela.
“Tolong aku pak, anakku, anakku, anakku meninggal.” Suara parau laki-kali tua itu mengglegar memecah syahdunya nyanyian fajar. Innalillahi wa inna illahi rojiun. Seperti ada hembusan angin yang menyambar mukenaku bulu kudukku berdiri, dadaku terasa sesak dan perlahan butiran bening jatuh.
Kami semua nyaris tak percaya, tak ada kabar bahwa tetanggaku itu sakit atau tanda-tanda akan meninggal. Semua terjadi begitu mengejutkan. Kematian itu datang dengan tiba-tiba dan tidak ada satupun dari anggota keluarga yang mengetahui proses sakaratul maut ibu Dafa. Yah, ibu Dafa yang meninggal. Dafa beserta ayah dan ibunya memang tinggal satu rumah dengan kakek dan neneknya, serta beberapa orang sepupunya.
Ibu Dafa meninggal tanpa ada tanda-tanda. Keluarganya memastikan bahwa semalam ia baik-baik saja. Semua berjalan normal, makan malam dan tidur seperti biasa. Namun keesokan harinya saat seisi rumah telah terjaga terasa ada kejanggalan. Ibu Dafa tak seperti biasanya, karna sampai saat ini belum juga terbangun. Menyadari hal itu keluarga membangunkannya, namun tak ada reaksi. Berkali-kali dibangunkan masih saja terdiam. Kecemasan mulai bergelayut di benak keluarga tersebut, perlahan tubuh dingin itu di periksa. Tak ada hembusan nafas dan jantung yang berdetak. Seperti menelan empedu di tengah gunung es. Semua kepala merasa ini hanya mimpi dan ketika matahari telah utuh bersinar, akan kembali seperti hari-hari kemarin. Namun inilah kenyataan pahit yang harus mereka terima, Ibu Dafa meninggal karna serangan jantungdan tak ada satupun yang mengetahui proses sakaratul mautnya.
***
Kematian memang dapat datang kapan saja. Memang tak menjadi alasan bahwa orang yang segar bugar masih jauh dari kematian. Telah banyak kejadian-kejadian tentang jalannya kematian, seorang yang berkendara tiba-tiba mengalami kecelakaan dan meninggal. Seorang buruh bangunan yang asik bekerja tiba-tiba jatuh dan meninggal. Seorang ibu yang sedang dalam proses bersalin kemudian meninggal. Seorang penyelam kehabisan oksigen kemudian meninggal. Banyak jalan kematian datang. Kematian pasti datang dan tak ada satupun yang dapat menghindarinya, meski ia memiliki benteng dari baja sekalipun tetap tak dapat menghalangi datangnya kematian.
Terkadang terlintas dibenakku bagaimana kematian menjemputku kelak, bagaimana keadaanku di alam kubur kelak. Saat tubuh kaku terbenam dalam tanah. Saat harta, tahta, keluarga menjadi tak bermakna. Hanya amal kebaikan yang akan menemaniku. Amal kebaiakan. Memangnya seberapa banyak. Hanya segelintir apa mungkin dapat menutupi sekian banyaknya keburukanku.

Ya Rabb................
Aku tahu kematian itu pasti akan datang..
Dan aku tahu bahwa kematian itu begitu dekat..
Tapi mengapa hatiku kerap lalai..
Seolah aku akan hidup selamanya..
Seolah ketika ruh lepas dari jasad, selesailah semuanya..
Seolah tak ada pertanggung jawaban atas perbuatan di bumi..



Kota Tepian, 24 Juli 2011

Senin, 11 Juli 2011

AKU TIDAK AKAN MENUKAR JILBABKU

            “Coba pake jilbab yang kayak sering dipake anak-anak usia kamu aja.” Celetuk ibu, saat aku mencoba memakai gamis yang baru dibelikannya dan menyelaraskannya dengan jilbab hitamku.
            “Nggak dech, lebih nyaman pake jilbab yang biasa aku pake” Aku tersenyum.
            “Orang cuma pas acara itu aja kok. Khan model bajunya nggak keliatan kalau pake jilbab besar.” Ibu merayu.
            Hatiku bergetar, perkataan ibu merasuk ke dalam kalbu memenuhi seluruh rongga tubuh. Menyesakkan dada, nyaris menghasilkan tetesan air mata. Lama ku tatap bias diri di cermin. Sosok gadis dengan balutan gamis abu-abu dan jilbab hitam. Seperti inilah yang slalu aku impikan, inilah yang dulu aku perjuangkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Ya Rabb, teguhkan aku dalam menjalankan perintah-Mu.
            “Bu, aku akan berusaha sebisaku untuk tidak menanggalkan jilbab yang sekarang aku pakai.” Ucapku perlahan.
            Selama ini ibu tidak pernah melarangku mengenakan jilbab besar. Dulu ketika aku memutuskan untuk mengenakan jilbab sungguhan, dalam artian tidak pada saat mengenakan seragam sekolah saja. Memang ada keraguan yang menyelimuti benak ibu tapi ibu tidak melarangku, hanya ada ke khawatiran bahwa aku akan menanggalkannya suatu hari nanti. Namun seiring berjalannya waktu dengan melihat kesungguhanku, ke khawatiran itu tak lagi tampak. Ini dapat aku rasakan dari perubahan ibuku yang mulai memperbolehkanku membeli jilbab-jilbab besar.
Untuk berjilbab layaknya remaja biasa bukan sesuatu yang meresahkan tapi untuk jilbab sebesar ini. Mungkin masih berat bagi orangtuaku untuk sepenuhnya merelakan anak gadisnya berpenampilan layaknya ibu-ibu pengajian, bahkan terkadang ibu menyampaikan ke khawatirannya akan tanggapan orang bahwa aku mengikuti aliran sesat. Sehingga terkadang aku masih mendapati ibu menyuruhku untuk mengenakan jilbab layaknya anak-anak remaja pada umumnya. Tapi keputusan ini keputusanku. Ini murni keinginanku yang lahir dari rasa malu, kagum dan cemburuku ketika memandang wanita-wanita yang berjilbab syar’i. Tidak ada paksaan, hanya seperti merasa tercambuk dan ketakutan teramat ketika aku menyelami satu persatu perintah berjilbab.
Aku pernah membaca buku yang dipinjamkan temanku ketika aku bertanya perihal rok dan jilbab besar yang slalu melekat dengan akhwat-akhwat ROHIS. Dalam buku itu aku mendapati aturan-aturan bagaimana seharusnya berjilbab yang sebenarnya. Ada perasaan yang tak dapat aku jelaskan dan inilah yang membuatku tetap mempertahankan jilbabku sampai hari ini. Meskipun aku tlah jauh dari teman-temanku dan jauh dari sentuhan tarbiah. Keputusan yang tlah ku ambil tetap tak dapat dirubah, aku akan berusaha semampuku untuk tidak menanggalkan jilbabku dan menggantinya dengan jilbab yang ibuku kehendaki. Semua bukan karna aku berada diantara mereka yang berjilbab besar, bukan karna tuntutan tarbiah, tapi murni karna keinginanku. Kalau saja semua ini karna teman-teman dan tarbiah tentu aku tlah menanggalkannya ketika aku lepas dari tarbiah. Namun tidak aku hanya takut pada murkanya Allah. Dalam buku yang dipinjamkan temanku aku membaca satu hadist yang sangat mengetarkan ketika membacanya dan inilah yang menjadi penyebab aku tetap mempertahankan jilbabku sampai sekarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya (yakni para penguasa yang dzalim) dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian. (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421)
Dalam hadist itu disebutkan bahwa ada penghuni neraka yang tak pernah dilihat oleh Rasulullah salah satunya adalah wanita yang berpakain tapi telanjang, kepala mereka seperti punuk onta. Jika aku menuruti keinginan ibuku untuk mengenakan jilbab yang ia inginkan, maka aku akan menggenakan jilbab transparan dengan sedikit tonjolan dibagian belakang kepala dan melilitkan jilbab tersebut. Tak hanya itu, jilbab yang aku kenakan juga pasti tak akan sampai menutupi bagian dadaku. Secara pasti bagian dada dan lekuk tubuhku akan terlihat. Lalu apa bedanya aku dengan tidak berpakaian jika lekuk tubuhku masih terlihat. Sedangkan aku tlah mengetahui secara jelas balasan bagi mereka yang berpakaian tetapi telanjang melalui hadist ini. Siapa yang tidak ingin masuk surga. Aku yakin seorang penjahat kelas kakap pun pasti juga ingin masuk surga. Begitu juga aku. Aku memang fakir dengan ilmu agama, tapi aku berharap dengan segelintir ilmu yang aku miliki dan aku terapkan dapat membuat Allah ridha dan memasukkanku ke dalam surga-Nya. Mungki bagi orang hadist ini biasa saja, tapi tidak bagiku. Ini perkataan Rasulullah, bagaimana aku dapat mengingkari perkataan utusan Allah.
Aku tak peduli dengan perkataan orang mengatakan aku mengikuti aliran sesat, kampungan, nggak gaul. Terserah, aku hanya takut pada murka Allah. Biarlah cemooh itu menjadi cambuk bagiku untuk terus memperbaiki diri.
***
            Selama kuliah aku memang mulai jarang mengikuti ta’lim. Kepadatan jadwal kuliah dan banyaknya tugas yang harus aku selesaikan membuatku kesulitan membagi waktu. Akhirnya kadar keimananku menurun karna jarangnya ruhani ku tersirami oleh ilmu. Dan ini terlihat oleh ibuku. Dengan ini mungkin ibu berpikir aku akan seperti dulu lagi atau paling tidak aku akan tergoda untuk mengenakan jilbab layaknya remaja biasa.
            Melihat orangtuaku seperti itu, aku tidak terlalu khawatir mereka akan memaksaku untuk menanggalkan jilbabku. Mungkin mereka akan merayuku tapi aku yakin mereka tidak akan memaksaku. Karana seperti yang aku katakan. Sebenarnya orangtuaku tidak melarangku berjilbab besar dan mengikuti pengajian, bahkan mereka cukup mendukungku. Pernah suatu hari saat awal masa-masa kuliah, orangtuaku menegurku.
            “Kok tumben nggak ta’lim? Biasanya libur gini pergi taklim” tanya Papa ketika dihari libur aku berada dirumah seharian.
            “Kamu kok sudah jarang ta’lim?” tanya ibu ketika berminggu-minggku aku tak pernah lagi berpamitan untuk pergi ta’lim.
            Dari pertanyaan itu aku bisa mengetahui mereka mendukungku. Aku pun tau mana pertanyaan yang menyudutkan dan yang mengingatkan. Aku yakin orangtuaku sebenarnya senang meilhatku belajar ilmu-ilmu agama. Karna itu akan terbias kepada sikapku. Akan tampak berbeda ketika aku dapat menyeimbangkan antara masuknya ilmu agama dan ilmu dunia dibandingkan dengan masuknya ilmu dunia saja. Berbeda. Sungguh berbeda. Ketika jauh dari masuknya ilmu agama aku lebih sering lepas kontrol dan ini akan berimbas bagi orang-orang sekelilingku terutama orang-orang dirumah.
***
            Aku yakin kalian tidak melarangku. Hanya saja ini cukup berat. Merelakan anak gadisnya berpenampilan seperti ini yang secara kasat mata akan bertolak belakang dengan ibu yang tidak berjilbab. Terlebih aku anak pertama kalian, satu-satunya anak perempuan yang sudah beranjak dewasa. Aku tau kalian ingin aku dapat seperti anak-anak yang lainnya. Namun inilah aku. Dengan segelintir ilmu, aku berusaha untuk mendapat ridha-Nya yang dapat mengantarkanku ke surga.


Dalam keheningan malam dan linangan air mata.
Maafkan aku bu, aku tidak akan menanggalkan jilbabku.
Kota Tepian, 11 Juli 2011