“Coba pake jilbab yang kayak sering dipake anak-anak usia kamu aja.” Celetuk ibu, saat aku mencoba memakai gamis yang baru dibelikannya dan menyelaraskannya dengan jilbab hitamku.
“Nggak dech, lebih nyaman pake jilbab yang biasa aku pake” Aku tersenyum.
“Orang cuma pas acara itu aja kok. Khan model bajunya nggak keliatan kalau pake jilbab besar.” Ibu merayu.
Hatiku bergetar, perkataan ibu merasuk ke dalam kalbu memenuhi seluruh rongga tubuh. Menyesakkan dada, nyaris menghasilkan tetesan air mata. Lama ku tatap bias diri di cermin. Sosok gadis dengan balutan gamis abu-abu dan jilbab hitam. Seperti inilah yang slalu aku impikan, inilah yang dulu aku perjuangkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Ya Rabb, teguhkan aku dalam menjalankan perintah-Mu.
“Bu, aku akan berusaha sebisaku untuk tidak menanggalkan jilbab yang sekarang aku pakai.” Ucapku perlahan.
Selama ini ibu tidak pernah melarangku mengenakan jilbab besar. Dulu ketika aku memutuskan untuk mengenakan jilbab sungguhan, dalam artian tidak pada saat mengenakan seragam sekolah saja. Memang ada keraguan yang menyelimuti benak ibu tapi ibu tidak melarangku, hanya ada ke khawatiran bahwa aku akan menanggalkannya suatu hari nanti. Namun seiring berjalannya waktu dengan melihat kesungguhanku, ke khawatiran itu tak lagi tampak. Ini dapat aku rasakan dari perubahan ibuku yang mulai memperbolehkanku membeli jilbab-jilbab besar.
Untuk berjilbab layaknya remaja biasa bukan sesuatu yang meresahkan tapi untuk jilbab sebesar ini. Mungkin masih berat bagi orangtuaku untuk sepenuhnya merelakan anak gadisnya berpenampilan layaknya ibu-ibu pengajian, bahkan terkadang ibu menyampaikan ke khawatirannya akan tanggapan orang bahwa aku mengikuti aliran sesat. Sehingga terkadang aku masih mendapati ibu menyuruhku untuk mengenakan jilbab layaknya anak-anak remaja pada umumnya. Tapi keputusan ini keputusanku. Ini murni keinginanku yang lahir dari rasa malu, kagum dan cemburuku ketika memandang wanita-wanita yang berjilbab syar’i. Tidak ada paksaan, hanya seperti merasa tercambuk dan ketakutan teramat ketika aku menyelami satu persatu perintah berjilbab.
Aku pernah membaca buku yang dipinjamkan temanku ketika aku bertanya perihal rok dan jilbab besar yang slalu melekat dengan akhwat-akhwat ROHIS. Dalam buku itu aku mendapati aturan-aturan bagaimana seharusnya berjilbab yang sebenarnya. Ada perasaan yang tak dapat aku jelaskan dan inilah yang membuatku tetap mempertahankan jilbabku sampai hari ini. Meskipun aku tlah jauh dari teman-temanku dan jauh dari sentuhan tarbiah. Keputusan yang tlah ku ambil tetap tak dapat dirubah, aku akan berusaha semampuku untuk tidak menanggalkan jilbabku dan menggantinya dengan jilbab yang ibuku kehendaki. Semua bukan karna aku berada diantara mereka yang berjilbab besar, bukan karna tuntutan tarbiah, tapi murni karna keinginanku. Kalau saja semua ini karna teman-teman dan tarbiah tentu aku tlah menanggalkannya ketika aku lepas dari tarbiah. Namun tidak aku hanya takut pada murkanya Allah. Dalam buku yang dipinjamkan temanku aku membaca satu hadist yang sangat mengetarkan ketika membacanya dan inilah yang menjadi penyebab aku tetap mempertahankan jilbabku sampai sekarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya (yakni para penguasa yang dzalim) dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421)
Dalam hadist itu disebutkan bahwa ada penghuni neraka yang tak pernah dilihat oleh Rasulullah salah satunya adalah wanita yang berpakain tapi telanjang, kepala mereka seperti punuk onta. Jika aku menuruti keinginan ibuku untuk mengenakan jilbab yang ia inginkan, maka aku akan menggenakan jilbab transparan dengan sedikit tonjolan dibagian belakang kepala dan melilitkan jilbab tersebut. Tak hanya itu, jilbab yang aku kenakan juga pasti tak akan sampai menutupi bagian dadaku. Secara pasti bagian dada dan lekuk tubuhku akan terlihat. Lalu apa bedanya aku dengan tidak berpakaian jika lekuk tubuhku masih terlihat. Sedangkan aku tlah mengetahui secara jelas balasan bagi mereka yang berpakaian tetapi telanjang melalui hadist ini. Siapa yang tidak ingin masuk surga. Aku yakin seorang penjahat kelas kakap pun pasti juga ingin masuk surga. Begitu juga aku. Aku memang fakir dengan ilmu agama, tapi aku berharap dengan segelintir ilmu yang aku miliki dan aku terapkan dapat membuat Allah ridha dan memasukkanku ke dalam surga-Nya. Mungki bagi orang hadist ini biasa saja, tapi tidak bagiku. Ini perkataan Rasulullah, bagaimana aku dapat mengingkari perkataan utusan Allah.
Aku tak peduli dengan perkataan orang mengatakan aku mengikuti aliran sesat, kampungan, nggak gaul. Terserah, aku hanya takut pada murka Allah. Biarlah cemooh itu menjadi cambuk bagiku untuk terus memperbaiki diri.
***
Selama kuliah aku memang mulai jarang mengikuti ta’lim. Kepadatan jadwal kuliah dan banyaknya tugas yang harus aku selesaikan membuatku kesulitan membagi waktu. Akhirnya kadar keimananku menurun karna jarangnya ruhani ku tersirami oleh ilmu. Dan ini terlihat oleh ibuku. Dengan ini mungkin ibu berpikir aku akan seperti dulu lagi atau paling tidak aku akan tergoda untuk mengenakan jilbab layaknya remaja biasa.
Melihat orangtuaku seperti itu, aku tidak terlalu khawatir mereka akan memaksaku untuk menanggalkan jilbabku. Mungkin mereka akan merayuku tapi aku yakin mereka tidak akan memaksaku. Karana seperti yang aku katakan. Sebenarnya orangtuaku tidak melarangku berjilbab besar dan mengikuti pengajian, bahkan mereka cukup mendukungku. Pernah suatu hari saat awal masa-masa kuliah, orangtuaku menegurku.
“Kok tumben nggak ta’lim? Biasanya libur gini pergi taklim” tanya Papa ketika dihari libur aku berada dirumah seharian.
“Kamu kok sudah jarang ta’lim?” tanya ibu ketika berminggu-minggku aku tak pernah lagi berpamitan untuk pergi ta’lim.
Dari pertanyaan itu aku bisa mengetahui mereka mendukungku. Aku pun tau mana pertanyaan yang menyudutkan dan yang mengingatkan. Aku yakin orangtuaku sebenarnya senang meilhatku belajar ilmu-ilmu agama. Karna itu akan terbias kepada sikapku. Akan tampak berbeda ketika aku dapat menyeimbangkan antara masuknya ilmu agama dan ilmu dunia dibandingkan dengan masuknya ilmu dunia saja. Berbeda. Sungguh berbeda. Ketika jauh dari masuknya ilmu agama aku lebih sering lepas kontrol dan ini akan berimbas bagi orang-orang sekelilingku terutama orang-orang dirumah.
***
Aku yakin kalian tidak melarangku. Hanya saja ini cukup berat. Merelakan anak gadisnya berpenampilan seperti ini yang secara kasat mata akan bertolak belakang dengan ibu yang tidak berjilbab. Terlebih aku anak pertama kalian, satu-satunya anak perempuan yang sudah beranjak dewasa. Aku tau kalian ingin aku dapat seperti anak-anak yang lainnya. Namun inilah aku. Dengan segelintir ilmu, aku berusaha untuk mendapat ridha-Nya yang dapat mengantarkanku ke surga.
Dalam keheningan malam dan linangan air mata.
Maafkan aku bu, aku tidak akan menanggalkan jilbabku.
Kota Tepian, 11 Juli 2011
1 komentar:
menjadi bidadari syurga memang berat , semoga tetap istiqomah ...
Posting Komentar