Malam kian larut, sisa hujan sesekali memainkan nada pilu. Hembus angin malam terasa semakin menyesakkan. Bita masih duduk disudut kamarnya sambil mengatur nafas yang tersenggal. Menatap langit malam dan menikmati sisa hujan.
Tuhan..peluk aku sebentar..
Aku lelah dengan semua ini..
Kemana kan ku cari ketulusan??
Nyaris tak dapat ku bedakan lagi antara senyum tulus dan kepalsuan..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Aku lelah dengan semua ini..
Dunia menuntut untuk selalu benar dan mengutuk ketika salah..
Padahal kesalahan serupa kerap mereka lakukan..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Tak tau lagi kepada siapa ku bisikkan rintih jiwa..
Saat semua telah memalingkan muka..
Tuhan..peluk aku sebentar..
Tertatih ku berdiri..
Mengukir senyum dalam perihnya hati..
Bita sengaja mengurai duka dalam kata dan membagikannya pada beberapa orang temanya melalui pesan singkat. Sesaat kemudian handphonenya berdering. Bita hanya metatap layar yang berkelap-kelip sampai kembali redup, tanda panggilan berakhir. Kemudian segera ia raih sebelum panggilan selanjutnya masuk.
“Aku nggak bisa angkat telpon ma. Nafasku agak sesak.” Balas bita
“Kamu kok belum tidur. Laporannya belum selesai kah.”
“Laporannya memang nggak bisa diselesaikan sekarang. Ni masih coba belajar untuk pre test besok. Tadi coba aja bikin kata-kata :).” Bita mencoba menutupi dukanya.
“Semoga pre testnya dimudahkan. Jangan tidur terlalu malam. Mending tidur cepat bangun lagi subuh.”
“Iyaa..makasih yaa. Met rehat.”
“Iya kamu juga.”
Pembicaraan melalui pesan singkat itu mampu membuat Bita sejenak mengalihkan pikirannya. Meski sebenarnya ia sedang membendung air mata. Menahan luka yang telah lama ia rasa dan belum menemukan penawar.
Ia kembali teringat sebuah kalimat ‘semua orang sepertinya memakai topeng’. Ah, nafasnya semakin terasa sangat menyesakkan. Pantaskah kecewa ia rasa. Pantaskah ia menangisi setiap episode yang penuh dengan kepalsuan.
Bita kembali mengatur nafas. Menarik selimut dan berniat tidur, namun belum sempat ia terlelap handphonenya kembali berdering. 1 pesan.
“Tuhan peluk aku sebentar.. Ijinkan aku untuk memberi yang terbaik untuk mereka, meski pahit, aku yakin pertolonganMu dekat. Tuhan peluk aku sebentar.. Ku rindu dengan kebersamaan menguatkan tuk selalu dekat denganMu. Tuhan peluk aku sebentar.” Tersenggal-senggal Bita membaca pesan singkat dari sahabatnya. Air matanya telah membajir sejak awal membuka pesan itu. Ada luka lain yang terkuak. Semakin perih. Sungguh.
“Tuhan aku lelah. Sungguh tak mampu lagi ku bedakan ketulusan dan kepalsuan. Tuhan aku lelah tersenyum dalam getirnya perih yang kurasakan. Tuhan aku lelah. Berpura-pura tak tau akan topeng yang ia pakai. Tuhan aku lelah. Membangun percaya yang terus menerus dihancurkan.” Air mata Bita semakin membanjir bersama kata yang tersusun.
Kembali pesan Bita mendapatkan balasan. Beberapa kata untuk bersabar terpampang dari layar handphonnya. Innallaha ma’ana. Allah bersamaku. Yah, Bita tau Allah akan selalu bersamanya. Hanya Allah tidak pernah meninggalkannya. Hanya Allah yang selalu setia mendengar keluh kesahnya. Mungkin selama ini Bita-lah yang lalai atau menuntut lebih. Mungkin!
Tapi satu hal yang ia tau pasti Allah sedang megajarkannya tentang satu lagi bagian kehidupan. Memberi rasa sakit agar dapat menghargai satu kebahagiaan.
“Ya Rabb, kuatkan aku.” Bisiknya. Lalu kembali mencoba untuk tidur.
Kota tepian, 7 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar