Sejenak Bita terdiam, menatap monitor. Pandangannya lurus menerawang. Seperti sedang menghadapi suatu perdebatan. Ada pemikiran yang sedang berkecamuk di benaknya. Tetang cinta.
Yah C-I-N-T-A sebuah kata yang sangat-sangat sering terdengar. Banyak definisi tentang cinta, tapi definisi itu takkan pernah cukup untuk mengartikan cinta. Banyak yang memuja cinta di awal namun mengutuk di akhir. Tak sedikit pula yang bertekuk lutut hanya karna cinta dan banyak pula yang menjadi tegar karnanya.
Bita mungkin sangat buta akan cinta, sehingga ia harus berpikir keras untuk mencari jawaban setiap tanya akan cinta.
Jika cinta adalah ketulusan, mengapa banyak yang menuntut lebih?
Jika cinta adalah kejujuran, mengapa banyak yang memakai topeng kepalsuan?
Jika cinta adalah anugerah, mengapa banyak hati yang terluka karnanya?
Jika cinta adalah tujuan, mengapa banyak yang berpaling setalah memilikinya?
Jika cinta adalah kepercayaan, mengapa selalu menyimpan kecurigaan?
Bita membawa langkahnya menuju teras rumah. Sejenak ia menikmati setiap hembusan angin. Langit sore ini terlihat sangat teduh menenangkan. Berharap ia akan temukan jawaban. Mencoba menerka arti kehadiran cinta.
“Begitu dasyat kah cinta, aku nggak habis pikir cuma karna sebuah kata cinta seseorang rela mengorbankan apa saja.” Gumamnya.
Seseorang pernah memberi Bita nasehat bahwa jangan mencoba-coba untuk jatuh cinta. Karna ketika telah terjerat didalamnya akan sangat sulit untuk terlepas.
Seperti itu kah? Bukankah cinta sesuatu yang tak dapat diprediksi kedatangannya. Bahkan tanpa di sadari sebenarnya cinta itu sedang bersemi. Seberapapun kokoh tembok yang dibangun, cinta tetap dapat menyusup. Ia teringat putri Rasulullah saja pernah jatuh cinta. Yang membedakannya dengan yang lain adalah sikapnya ketika jatuh cinta. Yah, sikap yang dipilih ketika jatuh cinta. Apakah ingin mengatur perasaan itu atau membiarkan perasaan itu yang mengatur. Mengatur perasaan. Mungkin itu yang dilakukan putri Rasulullah terhadap Ali. Hingga akhirnya cinta itu menjadi halal. Meski sebelumnya satu sama lain tak pernah tau mereka saling jatuh cinta.
Kali ini Bita setuju, ketika cinta itu menyusup maka bukan itu diperangi tapi dijamu dengan cara yang benar. Bukan menyelam didalamnya, tapi berlayar diatasnya. Bukankah cinta itu seperti pedang jika pandai dalam menggunakannya maka akan melindungi tetapi jika tidak maka akan melukai.
Bita kembali termenung. Sebuah tanya kembali menjejali pikirannya. Apa tujuan mereka yang bermain dengan cinta? Jika cinta itu murni dengan tujuan yang suci. Mengapa harus dipermainkan? Jika sama-sama ingin hanya dirinya seorang yang dihati. Mengapa mengukir nama yang lain?
Ah, entahlah. Cinta itu seperti langit, kadang memberi keteduhan namun dapat pula mengadirkan badai............................................
Kota Tepian, 4 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar