BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanpa
kita sadari, pertumbuhan mikroorganisme dalam kehidupan nyata sangat cepat.
Pertumbuhan bakteri yang sangat cepat inilah yang menyebabkan beberapa penyakit
yang disebabkan oleh bakteri sangat sulit untuk di obati. Namun mikroorganisme
dapat dikendalikan yaitu dibasmi, dihambat, atau ditiadakan dari suatu
lingkungan, dengan menggunakan berbagai proses atau sarana fisik (Pelczar,
2005).
Oleh karena itu yang menjadi
latar belakang praktikum kali ini yaitu pengontrolan mikroorganisme. Yang
dimana mahasiswa dapat mengetahui metode-metode yang biasa dilakukan dalam
pengendalian mikroorganisme dan mengetahui pengaruh lingkungan yang dapat
mempengaruhi mikroorganisme, serta mengetahui kekuatan anti mikroba suatu
zat-zat kimia.
Dalam hal ini, zat-zat yang
dimaksud adalah desinfektan, antiseptis dan antibiotik. Zat-zat ini dianggap
mampu mengontrol pertumbuhan bakteri dengan melakukan pengamatan terhadap zona
hambat atau daerah bening di sekitar kertas cakram yang tidak ditumbuhi oleh
bakteri.
1.2 Tujuan
Praktikum
1. Untuk
mengetahui metode-metode yang biasa digunakan dalam pengendalian
mikroorganisme.
2. Untuk
mengetahui pengaruh lingkungan (faktor fisik dan kimia) yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme.
3. Untuk
mengetahui yang dimaksud kontrol mikroorganisme.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Banyak zat-zat kimia dapat
menghambat atau mematikan mikroorganisme berkisar dari unsur logam berat
seperti perak dan tembaga sampai kepada molekul organik yang kompleks seperti
persenyawaan amonium kuaterner. Berbagai substansi tersebut menujukkan efek
anti mikroba dalam berbagai cara dan terhadap berbagai macam mikroorganisme.
Efeknya terhadap permukaan benda atau bahan juga berbeda-beda, ada yang serasi
dan ada yang bersifat merusak. Karena ini dan juga karena variabel-variabel
lain, maka perlu sekali diketahui terlebih dahulu perilaku suatu bahan kimia
sebelum digunakan untuk penerapan praktis tertentu (Pelczar, 2005).
Beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih bahan anti mikroba kimiawi untuk tujuan praktis,
yaitu:
1.
Sifat bahan yang akan diberi perlakuan.
Suatu zat kimia yang digunakan untuk
mendispersi perabotan terkontaminasi mungkin tidak baik bila digunakan untuk
kulit karena dapat amat merusak sel-sel jariangan kulit. Dengan demikian maka
harus dipilih zat serasi (compatible)
dengan bahan yang akan dikenalinya.
2.
Tipe mikroorganisme.
Tidak semua mikroorganisme sama
rentannya terhadap sifat menghambat atau mematikan suatu zat kimia tertentu.
Karena itu harus dipilih zat yang telah diketahui efektif terhadap suatu tipe
mikroorganisme yang akan dibasmi. Sebagai contoh, spora bersifat lebih resisten
dari pada sel-sel vegetatif. Bakteri gram positif dan gram negatif memiliki
kerentanan yang berbeda: misalnya Escherichia
coli (gram negatif) jauh lebih resisten terhadap desinfektan kationik dari
pada Staphylococcus aureus (gram
positif). Galur-galur yang berbeda dari pada spesies yang sama juga memiliki kerentanan
berbeda terhadap suatu zat anti mikrobial tertentu.
3.
Keadaan lingkungan.
Faktor yang mempengaruhi yaitu suhu, pH,
waktu, konsentrasi dan adanya bahan organik asing kesemuanya itu mungkin turut
mempengaruhi laju dan efisiensi penghancur mikroba (Pelczar, 2005).
Metode
pengukuran zat antimikrobial dalam menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri
secara in vitro, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.
Diffusion
test
(Metode Kirby Baurer)
Metode difusi ini adalah metode yang
sering digunakan. Obat diserap ke dalam kertas disc, kemudian ditempelkan pada
kultur bakteri di agar plate. Setelah diinkubasi diameter zona hambat diukur.
Diameter zona penghambat merupakan pengukur MIC secara tidak langsung dari antibiotika
terhadap mikroba (Sumarno, 2000).
2.
Dilution
test
(Minimal Inhibition Consentration)
Obat dilarutkan ke dalam kaldu (broth
dilution) dan di dalam agar-agar (agar dilution), kemudian ditanami bakteri
yang akan diperiksa (Sumarno, 2000).
Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona penghambat dan harus dikontrol
adalah:
1.
Konsentrasi mikroba pada permukaan
medium. Semakin tinggi konsentrasi mikroba maka zona pengahambatan akan semakin
kecil.
2.
Kedalaman medium pada cawan petri.
Semakin tebal medium pada cawan petri maka zona pengahambat akan semakin kecil.
3.
Nilai pH dari medium. Beberapa
antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi asam dan beberapa basa
alkali/basa.
4.
Kondisi aerob/anaerob. Beberapa
antibakterial kerja terbaiknya pada kondisi aerob yang lainnya pada kondisi
aerob (Greenwood, 1995).
Klasifikasi
kekuatan anti bakterial adalah sebagai berikut:
1.
Daerah hambat 20 mm atau lebih berarti
sangat kuat.
2.
Daerah hambat 10-20 mmberarti kuat.
3.
Daerah hambat 5-10 mm berati sedang.
4.
Daerah hambat 5 mm berarti lemah (Ardiansyah,
2005)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi zona hambat adalah:
1.
Kekeruhan suspensi bakteri. Kurang
keruh, zona hambat lebih besar. Lebih keruh diameter zona hambatan makin
sempit.
2.
Waktu pengeringan/pengeresapan suspensi
bakteri kedalam Moellerhiton Agar.
Tidak boleh lebih dari batas waktu yang dibolehkan. Karena dapat mempersempit
diameter zona hambatan.
3.
Temperatur inkubasi. Untuk memperoleh
pertumbuhan yang optimal, inkubasi dilakukan pada 35oC,
kadang-kadang ada bakteri yang kurang subur pertumbuhannya.
4.
Waktu inkubasi. Hampir semua cara
menggunakan waktu inkubasi 16-18 jam. Kurang dari 16 jam pertumbuhan bakteri
belum sempurna sehingga sukar dibaca/diameter zona hambatan lebih besar. Lebih
dari 18 jam pertumbuhan lebih sempurna sehingga zona hambatan makin sempit.
5.
Tebalnya agar-agar. Ketebalan agar-agar sekitar
4 mm. Kurang dari itu difusi obat lebih cepat, lebih dari itu difusi obat akan
terjadi lambat.
6.
Jarak antara disc obat. Yang dianjurkan
minimal 15 mm, untuk menghindari terjadinya zona hambatan yang tumpang tindih (Sumarno,
2000).
Di
alam jarang mikrooganisme yang mati akibat zat-zat kimia. Hanya manusia dalam
usahanya untuk membebaskan diri dari kegiatan mikroba meramu zat-zat yang dapat
meracuni mikroorganisme, tetapi tidak meracuni dirinya sendiri atau maracuni
makanan. Zat-zat yang hanya menghambat pembiakan mikroorganisme dengan tiada
membunuhnya dinamakan zat antiseptik. Dan istilah lain, yakni desinfektan.
Antiseptik dan desinfektan dapat merupakan zat yang sama tetapi berbeda dalam
cara penggunanaannya: antiseptik dipakai terhadap jaringan hidup, sedangkan desinfektan
dipakai untuk bahan-bahan tidak bernyawa (Waluyo, 2008).
Desinfektan
merupakan proses pembunuhan atau penghilangan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit. Agen desinfektan adalah disinfektan, yang biasanya
merupakan zat kimiawi dan digunakan untuk objek-objek tak hidup. Desinfektan
tidak menjamin objek menjadi steril karena spora viabel dan beberapa
mikroorganisme tetap dapat tersisa (Pratiwi, 2008).
Antiseptis
merupakan proses pencegahan infeksi dengan cara inaktivasi atau mematikan
mikroorganisme dengan cara kimia. Agen antiseptis disebut antiseptik. Proses
ini merusak jaringan inang dan tidak setoksik desinfektan. Substansi yang dapat
membunuh mikroorganisme umumnya memiliki nama dengan akhiran–sida (cide). Contohnya Germisida (germicide) yang membunuh banyak patogen tetapi tidak
berefek pada endospora Bakteri,
Bakterisida, Fungisida, Aglasida, Virusida. Sedangkan substansi yang tidak
bersifat membunuh mikroorganisme dan hanya berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan umumnya memiliki nama berakhiran–statik
(static). Contohnya Fingistatik dan Bakteriostatik (Pratiwi, 2008).
Beberapa
Desinfektan dan Antiseptik
Zat-zat yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri dapat dibagi atas garam-garam logam, fenol dan
senyawa-senyawa lain yang sejenis, formaldehida, alkohol, yodium, klor dan
persenyawaan klor, zat warna, detergen, sulforamida dan antibiotik
(Dwidjoseputro, 1998).
Tidak ada satupun zat kimia yang
terbaik bagi semua tujuan. Hal ini tidaklah mengherankan, bila mengingat
berbagai ragamnya kondisi yang diperlukan untuk memanfaatkan bahan kimia,
perbedaan di dalam cara kerjanya, serta begitu banyaknya macam sel mikroba yang
harus dimusnahkan. Contoh zat kimia tersebut dapat berupa:
1.
Detergen
Zat pengurangan tekanan permukaan atau
zat pembasah yang terutama digunakan untuk membersihkan permukaan benda disebut
detergen. Salah satu contohnya ialah sabun. Tetapi sabun tidak bekerja dengan
baik dalam air sadah. Karena itu kini telah dikembangkan bahan pembersih baru
yang lebih efisien yang disebut surfaktan atau detergen sintesis. Zat tersebut tidak
membentuk endapan dalam air alkalin ataupun asam, serta tidak beraksi dengan
mineral yang terdapat dalam air sadah dan membentuk endapan (Pelczar, 2005).
Sabun biasa tidak banyak khasiatnya zat
pembunuh bakteri (Bakterisida) tetapi
kalau dicampur dengan heksaklorofen daya bunuhnya menjadi besar sekali. Sejak
lama obat pencuci yang mengandung ion detergen banyak digunakan sebagai pengganti
sabun. Detergen tidak hanya bersifat Hekerlostatik,
melainkan juga merupakan Bakterisida.
Terutama bakteri bersifat gram positif (Dwidjoseputro, 1998).
Detergen merupakan senyawa organik, yang
karena strukturnya dapat berikatan dengan air dengan molekul-molekul organik
non-polar. Molekul detergen memiliki satu ujung hidrofilik yang dapat bercampur
dengan air. Oleh karenanya molekul detergen akan menempel pada permukaan bahan
organik dengan ujung hidrofiliknya mengarah ke air. Detergen mungkin bermuatan
listrik (ionik), mungkin pula tidak ionik. Detergen yang ionik biasanya tidak merupakan
desinfektan yang baik dalam beberapa hal dapat menyongkong pertumbuhan kuman
dan jamur. Dari detergen ionik, maka yang bermuatan negatif biasanya lemah
sifat bakterisidanya terutama terhadap bakteri Staphylococcus dan beberapa virus, meskipun tidak efektif terhadap
spora (Waluyo, 2008).
Nilai sabun yang sesunggguhnya terletak
pada kemampuanya menghilangkan mikroorganisme secara mekanis. Seperti detergen
lain, sabun dapat mengurangi tegangan permukaan sehingga meningkatkan sifat
pembasah air yang didalamnya terlarut sabun. Air bersabun dapat mengemulsikan
dan menghilangkan minyak kotoran. Mikroorganisme menjadi terperangkap di dalam
busa dan hilang setelah dibilas dengan air (Pelczar, 2005).
2.
Fenol dan senyawa-senyawa sejenis
Fenol (asam karbol) untuk pertama
kalinya digunakan Lister di dalam ruang bedah sebagai germisida, untuk mencegah timbulnya infeksi
pascabedah. Pada konsentrasi yang rendah (2-4%) daya bunuhnya disebabkan karena
fenol mempresipitasikan protein secara aktif dan selain itu juga merusak
mambran sel dengan cara menurunkan tegangan permukaannya. Fenol merupakan
standar pembanding untuk menentukan aktivitas atau khasiat suatu disinfektan
(Waluyo, 2008).
3.
Logam-logam berat
Logam-logam berat berfungsi sebagai anti
mikroba oleh karena dapat mempresipitasikan enzim-enzim atau protein esensial
dalam sel. Logam-logam berat yang umum dipakai adalah Hg, Ag, As, Zn dan Cu.
Daya antimikroba dari logam berat, dimana pada konsentari yang kecil saja dapat
membunuh mikroba dinamakan daya oligodinamik. Tetapi garam dari logam berat ini
mudah merusak kulit, merusak alat-alat yang terbuat dari logam dan harganya
mahal (Waluyo, 2008).
4.
Formaldehida
Suatu larutan formaldehida 40% biasa
disebut formalin. Disinfektan ini banyak sekali digunakan untuk membunuh
bakteri, virus dan jamur. Formalin tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh
manusia, akan tetapi banyak digunakan untuk merendam bahan-bahan laboratorium,
alat-alat seperti gunting, sisir dan lain-lainnya pada ahli kecantikan
(Dwidjoseputro, 1998).
5.
Alkohol
Etanol murni kurang daya bunuhnya
terhadap bakteri. Jika dicampur dengan air murni, efeknya lebih baik. Alkohol
50% sampai 70% banyak digunakan sebagai desinfektan (Dwidjoseputro, 1998).
6.
Yodium
Yodium-tinktur, yaitu yodium yang
dilarutkan dalam alkohol banyak digunakan orang untuk mendisinfeksikan
luka-luka kecil. Larutan 2% sampai 5% biasa dipakai. Kulit dapat terbakar
karenanya, oleh sebab itu untuk luka-luka yang agak lebar tidak digunakan
yodium-tinktur (Dwidjoseputro, 1998).
7.
Klor dan senyawa klor
Klor banyak digunakan untuk sterilisasi
air minum. Persenyawaan klor dengan kapur atau dengan natrium merupakan desinfektan
yang banyak dipakai untuk mencuci alat-alat makanan dan minum (Dwidjoseputro,
1998).
8.
Zat warna
Beberapa macam zat warna dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Pada umumnya bakteri yang garam positif lebih
peka terhadap pengaruh zat warna daripada bakteri gram negatif. Hijau berlian,
hijau metalik, fuchsin basa, kristal ungu sering dicampurkan kepada medium
untuk mencegah pertumbuhan bakteri gram positif. Kristal ungu juga dipakai
untuk mendisinfeksikan luka-luka pada kulit. Dalam penggunaan zat warna perlu
diperhatikan supaya zat warna itu tidak sampai kena pakaian (Dwidjoseputro,
1998).
Ciri-Ciri
Suatu Desinfektan yang Ideal
Tidak ada satupun zat kimia yang
terbaik bagi semua tujuan. Hal ini tidaklah mengherankan, bila mengingat
berbagai ragamnya kondisi yang diperlukan untuk memanfaatkan bahan kimia,
perbedaan di dalam cara kerjanya, serta begitu banyaknya macam sel mikroba yang
harus dimusnahkan. Kalaupun ada suatu desinfektan ideal, maka zat tersebut
haruslah memiliki serangkaian sifat yang hebat pula. Tidaklah akan pernah
dijumpai satu pun persenyawaan yang memiliki sifat-sifat demikian. Walaupun
demikian, spesifikasi yang diuraikan di bawah ini dapat diusahakan untuk
dicapai pada penyaiapan senyawa-senyawa anti mikrobial dan haruslah
dipertimbangkan di alam evaluasi desinfektan yang digunakan untuk tujuan
praktis (Pelczar, 2005).
1.
Aktivitas anti mikrobial.
Persyaratan yang pertama ialah kemampuan
subsatnsi untuk mematikan mikroorganisme. Pada konsentrasi rendah, zat tersebut
harus mempunyai aktivitas anti mikroba dengan spektrum luas, artinya harus
dapat mematikan barbagai macam mikroba.
2.
Kelarutan.
Substansi itu harus dapat larut dalam
air atau pelarut-pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan untuk dapat
digunakan secara efektif.
3.
Stabilitas.
Perubahan yang terjadi pada substansi
itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkin dan tidak boleh
mengakibatkan kehilangan sifat anti mikrobialnya dengan nyata.
4.
Tidak bersifat racun bagi manusia maupun
hewan lain.
Idealnya persenyawaan itu harus bersifat
letal bagi mikroorganisme dan tidak
berbahaya bagi manusia maupun hewan lain.
5.
Keseragaman (homogeneity).
Didalam penyiapan, komposisinya harus
seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap aplikasi. Bahan
kimia memang seragam, tetapi campuran berbagai bahan belum tentu serba sama.
6.
Tidak bergabung dengan bahan organik
lain.
Apabila desinfektan semacam itu digunakan dalam keadaan yang banyak
mengandung bahan organik maka sebagian besar dari disinfektan itu akan menjadi
aktif.
7.
Aktivitas anti mikrobial pada suhu kamar
atau suhu tubuh.
Tidaklah perlu dinaikan suhu sampai
diatas suhu yang biasanya dijumpai di lingkungan tempat digunakannya senyawa
itu.
8.
Kemampuan untuk menembus.
Kecuali bila substansi itu dapat
menembus permukaan, maka aksi antimikrobialnya hanya terbatas pada situs
aplikasinya saja. Sudah barang tentu, kadang-kadang memang hanya diperlukan aksi permuakaan.
9.
Tidak menimbulkan karat dan warna.
Senyawa itu tidak boleh menimbulakan
karat sebab bila tidak demikian maka akan menimbulkan cacat pada logam dan
tidak boeh menimbulkan warna merusak lain.
10. Kemampuan
menghilangkan bau yang kurang sedap.
Kemampuan suatu zat mendisinfeksi juga
sambil menghilangkan bau tak sedap merupakan sifat yang dikehendaki. Yang ideal
ialah bila disinfektan itu sendiri tidak berbau atau hendaknya berbau sedap.
11. Kemampuan
sebagai detergen.
Suatu desinfektan yang juga merupakan
detergen mempunyai keuntungan bahwa efeknya sebagai pembersih memperbaiki
keefektifannya sebagai desinfektan.
12. Ketersediaan
dan biaya.
Senyawa itu harus tersedia dalam jumlah
besar dengan harga yang pantas (Pelczar, 2005).
Antibiotik
Antimikroba adalah suatu subsatnsi
(zat-zat) kimia yang diperoleh dari atau di bentuk dan di hasilkan oleh
mikroorganisme dan zat-zat itu dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat
kegiatan mikroorganisme yang lain. Antibiotika tersebar di alam dan memegang peran
penting dalam mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos.
Antibiotika berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Antibiotika yang
kini banyak digunakan kebanyakan dari genus Bacillus,
Penicillium, dan Streptomyces
(Waluyo, 2008).
Antiboitika yang mempunyai spetrum
luas artinya antibiotika yang efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri,
baik kokus, basil maupun spiral, ada juga antibiotika berspektrum sempit
artinya hanya efektif digunakan untuk spesies tertentu (Dwidjoseputro, 1998).
Berdasarkan mekanisme aksinya,
antibiotik dibedakan menjadi lima yaitu antibiotik dengan mekanisme
penghambatan sintesis dinding sel, perusakan membran plasma, penghambatan
sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis
metabolit esensial (Pratiwi, 2008).
1.
Antibiotik yang menghambat sintesis
dinding sel
Antibiotik ini adalah antibiotik yang
merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri gram positif maupun
gram negatif. Contohnya: Penisilin.
2.
Antibiotik yang merusak membran plasma
Membran plasma bersifat semipermaebel
dan mengendalikan transpor berbagai metabolit kedalam dan keluar sel. Adanya gangguan
atau kerusakan struktur pada membran plasma dapat menghambat atau merusak
kemampuan membran plasma sebagai penghalang (barrier) osmosis dan menggangu
sejumlah proses biosintesis yang diperlukan dalam membran. Contohnya: Polimiksin.
3.
Antibiotik yang menghambat sintesis
protein
Antibiotik ini memiliki sperktrum luas
dan bersifat bekterisidal dengan mekanisme penghambat pada sintesis protein.
Antibiotik ini berikatan pada subunit 30S ribosom bakteri (beberapa terikat
juga pada subunit 50S ribosom) dan menghambat translokasi peptidil-tRNA dari
situs A kesitus P, dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA dan mengakibatkan
bakteri tidak mampu menyintesis protein vital untuk pertumbuhannya. Contohnya: Streptomisin.
4.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam
nukleat (DNA/RNA)
Antibiotik ini melakukan penghambatan
pada sitesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi
mikroorganisme. Contonya: Rifamisin.
5.
Antibiotik yang menghambat sintesis
metabolit esensial
Penghambatan terhadap sinetsis metabolit
esensial antara lain dengan adanya kompetitor berupa anti metabolit, yaitu
substansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena
memiliki struktur normal bagi enzim metabolisme. Contohnya: Sulfanilamid (Pratiwi, 2008).
Escherichia coli
E.
coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam saluran
pencernaan baik manusia maupun hewan sehat. Nama bakteri ini diambil dari nama
seorang Bacteriologist yang barasal dari
German yaitu Thedor Von Escherich yang berhasil melakukan isolasi bakteri ini
pertama kali pada tahun 1885. Dr. Escherich juga berhasil membuktikan bahwa
diare dan gastroenteristis yang terjadi pada infant disebabkan oleh bakteri E. coli (Jawetz, 1995).
Sifat-sifat virulensi dari E. coli dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1.
E.
coli
Enteropatogenik (EPEC) adalah penyebab penting diare pada bayi, khusunya
dinegara berkembang. EFEC melekat pada sel mukosa usus kecil. Akibat dari
infeksi EFEC adalah diare cair, yang biasanya sembuh sendiri tapi dapat juga
menjadi kronik.
2.
E.
coli
Enterosigenik (ETEC) adalah penyebab yang sering dari diare wisatawan dan
sangat penting menyebabkan diare pada bayi di negara berkembang. Faktor
kolonisasi ETEC yang spesifik untuk manusia menimbulkan pelekatan ETEC pada sel
epitel usus kecil. Beberapa strain ETEC menghasilkan eksoroksin tidak tahan
panas (LT) yang berada dibawah kendali genik dari plasmid. LT bersifat
antigenik dan beraksi silang dengan hetralisasi dalam serum pada orang yang
sebelumnya terinfeki dengan enterosigenik E.
coli.
3.
E.
coli
Enterohemoragic (EHEC) menghasilkan verotoksin. EHEC berhubungan dengan kolitis
hemoragik, berbentuk diare yang berat dan dengan sidroma uremia hemolitik suatu
penyakit akibat gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik dan
trombositopenia.
4.
E.
coli
Enteroinuasif (EIEC) menimbulkan penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis. Seperti shigella, stran EIEC
bersifat nonlaktosa atau melakukan fermentasi laktosa dengan lambat serta
bersifat tidak dapat bergerak. EIFC menimbulkan penyakit melalui invasinya ke
sel epitel mukosa usus (Jawetz, 1995).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3. 1 Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikum Pengontrolan Mikroorganisme
kali ini dilakukan pada hari Senin, 16 Mei 2011 pukul 15.45-17.00 WITA dan
dilanjutkan pengamatan pada hari Selasa, 24 Mei 2011 pukul 10.00-11.00 WITA di
Laboratorium Mikrobiologi dan Biotekhnologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman, Samarinda.
3. 2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
-
Laminar air flow cabinet
-
Rak tabung reaksi
-
Tabung reaksi
-
Lidi
-
Cawan petri
-
Lampu bunsen
-
Pinset
-
Jarum ose
-
Pulpen
-
Inkubator
-
Vortex
-
Spidol
-
Penggaris
-
Pensil
3.2.2 Bahan
-
Alkohol 70%
-
Aluminium foil
-
Kapas
-
Korek
-
NaCl 0,9%
-
Biakan agar miring E.coli
-
Dettol
-
Listerin
-
Attack
-
Rinso
-
Kloramfenikol
-
Ampisilin
-
Aquadest
-
Kertas cakram
3.3 Cara Kerja
1.
Disiapkan semua alat dan bahan yang
diperlukan didalam Laminar Air Flow
Cabinet.
2.
Disterilkan tangan menggunakan alkohol
70%.
3.
Dibagi cawan petri menjadi 3 bagian dan
diberi lebel pada setiap bagian sesuai dengan sampel yang dipakai.
4.
Disterilkan jarum ose dengan lampu
bunsen, diambil 2 ose biakan murni E. coli (agar miring) dimasukkan kedalam
tabung reaksi yang berisi larutan NaCl 0,9%. Sebelumnya tabung reaksi telah
disterilakn terlebih dahulu.
5.
Disterilkan kembali tabung reaksi yang
beris campuran NaCL 0,9% dan biakan E.
coli, dicelupkan lidi steril kedalamnya.
6.
Diambil cawan petri yang telah berisi
agar, kemudian dioleskan dengan lidi kapas yang telah dicelupkan didalam
campuran NaCL 0,9% dan biakan E. coli,
dioleskan secara merata diseluruh permukaan agar tanpa ditekan.
7.
Disterilkan kembali cawan perti yang telah
mengalami pengolesan.
8.
Difiksasi pinset dengan api bunsen,
diambil kertas cakram, dicelupkan pada sampel dettol, kemudian diletakkan pada
cawan petri sesuai dengan label yang ada, dilakukan hal yang sama pada sampel ampisilin dan attack. Setelah 3 sampel
pada cawan petri diisi, dilakukan sterilisasi dengan api bunsen.
9.
Dilakukan hal yang sama pada cawan perti
yang lain dengan sampel kloramfenikol, rinso dan listerin.
10. Dilakukan
inkubasi selama 24 jam.
11. Setelah
24 jam, dilakukan pengamatan dan perhitungan pertumbuhan mikroba.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1
Tabel Pengamatan
Gambar
|
Keterangan
|
|||
1.
|
Keterangan
:
1.
Ampicilin
2.
Attack
3.
Dettol
|
|||
2.
|
Keterangan
:
1.
Rinso
2.
Kloramfenikol
3.
Listerin
|
4.1.2 Perhitungan Daya Hambat
1.
Kloramfenikol :
=
1,38 mm
2. Rinso :
=
1,41 mm
3. Listerin :
=
0,64 mm
4. Ampisilin :
=
1,57 mm
5. Attack :
=
2,18 mm
6. Dettol :
=
1,51 mm
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan
pengontrolan mikroorganisme dengan menggunakan antibiotik, disinfektan dan
antiseptis. Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mengetahui
metode-metode yang biasa dilakukan dalam pengendalian/kontrol mikroorganisme,
mahasiswa dapat mengetahui pengaruh lingkungan (faktor fisik dan kimia) yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan dapat mengetahui kekuatan
antimikroba suatu zat-zat kimia.
Zat-zat kimia yang menjadi sampel dalam
percobaan ini adalah kloramfenikol dan ampicilin yang merupakan antibiotik,
listerin dan dettol yang merupakan antiseptik, serta rinso dan attack yang
merupakan desinfektan berupa detergen. Mikroorganisme (bakteri) yang digunakan
adalah Escheriahia coli.
Escheriahia
coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam saluran
pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. Namun E. coli juga dapat menyebabkan infeksi
saluran pencernaan. E. coli merupakan
bakteri berbentuk batang dengan panjang
sekitar 2 mikronmeter dan
diameter 0,5 mikronmeter. Volume sel E.
coli berkisar 20 – 40oC optimum pada suhu 37oC. E. coli
berfungsi membusukkan sisa-sisa makanan.
Adapun proses pengontrolan
mikroorganisme pertama kali dilakukan menyiapkan semua alat dan bahan yang
diperlukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet, kemudian tangan praktikan
disterilkan dengan alkohol 70%. Hal ini dilakukan agar keadaan benar-benar
dalam keadaan yang steril, bebas dari kontamin bakteri yang tidak di inginkan.
Selanjutnya diambil cawan petri yang telah berisi agar, perkirakan pembagian
cawan petri menjadi 3 bagian dan setiap bagian diberi label sesuai dengan
sampel yang akan dipakai. Pada percobaan ini digunakan 2 cawan petri dan
masing-masing cawan petri terdapat 3 jenis sampel yang berupa antibiotik,
antiseptik dan desinfektan. Proses selanjutnya disterilkan jarum ose dengan
lampu bunsen, diambil 2 ose biakan E.
coli (agar miring) dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi larutan
NaCl 0,9%, sebelumnya tabung reaksi telah disterilkan terlebih dahulu.
Disterilkan kembali tabung reaksi yang berisi campuran NaCl 0,9% dan biakan E.coli, dicelupkan lidi kapas steril
kedalamnya. Diambil cawan petri yang telah diberi label, kemudian dioleskan
dengan lidi kapas yang telah dicelupkan di dalam campuran NaCl 0,9% dan biakan E. coli, dioleskan secara merata
diseluruh permukaan agar tanpa ditekan. Difiksasi dengan api bunsen, diambil
kertas cakram, dicelupkan pada sampel dettol kemudian diletakkan pada cawan
petri sesuai label yang ada, dilakukan hal yang sama pada sampel ampicilin dan
attack, kemudian disterilkan cawan petri. Hal yang sama dilakukan pada cawan
petri kedua namun dengan sampel yang berbeda yaitu kloramfenikol, rinso dan
listerin. Setelah itu dilakukan inkubasi selama 24 jam. Proses selanjutnya,
setelah diinkubasi selama 24 jam dilakukan pengamatan.
Pengamatan
pada cawan petri pertama dapat dilihat bahwa pertumbuhan bakterri cukup
resisten terhadap dettol, ampicilin dan attack, hal ini ditunjukkan dengan
adanya zona hambat disekitar kertas cakram. Adapun zona hambat pada dettol
yaitu 1,51 mm, ampicilin 1,57 mm, dan attack 19,13 mm. Hasil ini diperoleh dari
perhitungan dengan cara mengukur sebanyak 15 bagian pada zona hambat setiap
kertas cakram, jumlah dari pengukuran tersebut dibagi 15 dan hasilnya
dikurangkan 6 mm kemudian dibagi 6 mm dan diperolehlah hasil zona hambat. Hal
yang sama juga dilakukan pada sampel yang lain. Pada cawan petri ini dapat
diketahui bahwa attack memiliki daya anti mikroba yang kuat hal ini dapat
diketahui dari luasnya zona hambat pada attack.
Pengamatan kedua pada cawan petri
yang berisi sampel listerin, rinso dan kloramfenikol. Pada cawan ini
pertumbuhan bakteri juga cukup resisten, terutama pada listerin yang hampir
tidak memiliki zona hambat. Zona hambat pada listerin adalah 0,64 mm, pada
kloramfenikol 1,38 mm dan rinso 1,41 mm. Jika dibandingkan dengan hasil
pengamatan cawan petri pertama akan dapat disimpulkan bahwa attack memiliki
anti mikroba yang paling kuat dan listerin yang paling lemah. Hal ini dapat
dilihat dari luasnya zona hambat.
Penyebab zona hambat yaitu
kemungkianan besar disebabkan oleh kurang rapatnnya atau kurang ratanya bekteri
sehingga sampel dapat menghambat bakteri tersebut. Dan juga zona hambat
dipengaruhi oleh kekeruhan suspensi bakteri sehingga dapat dikatakan semakin
keruh suspensi bakteri maka semakin kecil zona hambat yang terbentuk dan begitu
sebaliknya jika bakteri tidak terlalu keruh zona hambat yang terbentuk akan
semakin besar.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum pengukuran
pengontrolan mikroorganisme yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan,
yaitu:
1. Terdapat
2 metode pengontrolan mikroorganisme yaitu metode Kirby baurer (diffusion test) ialah obat diresapkan
kedalam kertas disc, kemudian ditempelkan pada kultur bakteri di agar plate.
Metode Minimal Inhibition Ionsentretion (dilution
test) ialah obat dilarutkan kedalam kaldu (broth dilution) atau didalam
agar-agar (agar dilution) kemudian ditanami bakteri yang akan diperiksa.
2. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yaitu pH, suhu, waktu,
konsentrasi dan adanya bahan organik asing kesemuanya itu mungkin turut
mempengaruhi laju dan efisiensi pengahancur mikroba.
3. Kontrol
mikroorganisme adalah segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi atau
menyingkirkan mikroorganisme.
5.2 Saran
Setelah melakukan praktikum
pengotrolan mikroorganisme, diharapkan agar praktikan dapat mengetahui
antimikroba yang kuat dan lemah. Diharapkan pula praktikan menyimak penjelasan
pembimbing dengan baik sehingga saat melaksanakan praktikum tidak mengalami
kesulitan. Diharapkan pula agar praktikan dapat lebih aktif saat praktikum,
tidak hanya duduk santai melihat berjalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro.
1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi.
Djambatan: Jakarta.
Greenwood.
1995. Mikrobiologi. UGM Press:
Yogyakarta.
Jawetz,E.J.L.
Melnick,E.A. Adelberg,G.E. Brooks,J.S Butel & L.N Ornston.
1995.
Mikrobiologi Kedokteran Ed. 20. EGC:
Jakarta.
Pelczar,
Michael. 2005. Dasar- Dasar Mikrobiologi.
UI-Press: Jakarta.
Pratiwi,
Silvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi.
Erlangga: Jakarta
Sumarno.
2000. Teknik Dasar Pemeliharaan Mikroba.
Intan Prawira: Jakarta.
Waluyo,
Lud. 2008. Mikrobiologi Umum.
Universitas Muhamadiah Malang: Malang.
1 komentar:
terimakasih, sangat bermanfaat
Posting Komentar