Presentasi yang dilanjutkan dengan diskusi teman-teman, cukup menyamarkan bisikan Jingga yang mencurahkan kerapuhan hatinya. Pikiranku melayang, bukan aku tak mendengarkan. Hanya terbawa dalam daftar panjang ketidak sempurnaan istana.
Aku kerap membanyangkan kesempurnaan istana. Hangat, penuh cinta dan keceriaan. Aku berpikir seorang anak yang masih memiliki orang tua lengkap dan selalu mendapat perhatian dari orangtuanya, telah mendapatkan kesempurnaan istana. Tapi nyatanya tidak. Setiap istana slalu memiliki sisi yang rapuh. Hanya saja terlihat sempurna oleh sikap pemilik istana itu.
“Setiap keluarga pasti ada masalah.” Tutur ibu.
Yah, aku mulai menyadarinya ketika satu persatu daftar ketidak sempurnaan istana terisi. Tidak semua yang terlihat menyenangkan dimata kita, juga menyenangkan dimata orang lain. Aku melihat dari sudut pandang seorang anak. Jika di satu sudut ada seorang anak yang tidak ingin diatur dalam menentukan masa depan, maka di sisi lain seorang anak sangat berharap orangtua mereka dapat lebih mengarahkan dan tidak melepas mereka begitu saja. Di sisi lain ada seorang anak yang merasa enggan mendapatkan dekapan hangat orangtuanya maka di sisi lain ada seorang anak yang haus akan belaian hangat orangtuanya. Dan ketika seorang yang mengeluhkan keadaannya maka di sisi lain ada yang ingin merasakan berada dalam keadaan tersebut. Syukur, mungkin itu dapat membuat orang merasa cukup dengan yang telah ia peroleh.
Masalah hidup terkadang sama, yang membuatnya berbeda adalah sikap menghadapi masalah tersebut. Caranya memandang masalah dan penyelesaian yang dia buat.
“Aku capek, Yan. Bapakku selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ada atau nggak ada beliau dirumah sama aja. Yang dilakukan cuma fokus sama kerjaannya, kadang semalam suntuk main game. Nggak pernah peduli sama kami, anak-anaknya. Yang beliau tau hanya memberi uang.” keluh Mala suatu ketika.
“Emmm, sama aja Mal, bapakku juga gitu dirumah. Pernah terlambat masuk kerja cuma gara-gara main game.”
“Masa sih? Trus kamu nggak masalah gitu?”
“Iya nggak gitu, masalah sih. Tapi aku coba mengalihkan perhatiannya. Khan komputer ada dikamarku, jadi aku bilang. ‘pak aku mau tidur’ jadi bapakku keluar. Hehe”
“Hmmm, gitu sih enak. Kalau semua fasilitas sudah punya masing-masing khan jadi repot.”
Terlihat masalah aku dan Yana mirip, tapi dia terlihat santai dan tidak terlalu menganggap masalah besar. Sebenarnya aku tidak menganggap bagian ini masalah besar, hanya saja aku tidak rela kehilangan sesuatu yang pernah aku miliki, terlebih hal itu direnggut oleh mesin. Perhatian papa direngut oleh mesih. Hah, yang benar saja. Yah, begitulah nyatanya!
Nyatanya saat ini, banyak orangtua yang lebih sibuk dengan pekerjaan mereka dari pada memperhatikan anak-anaknya. Aku tidak menyalahkan orangtua, tapi itu realita. Seberapapun aku mencoba untuk memahami posisi mereka, tetap saja pada titik tertentu terjatuh juga.
Era globalisasi merubah pola hidup. Emansipasi merubah suasana rumah. Tak hanya seorang ayah tapi juga ibu yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Tuntutan sosial dan ekonomi membuat waktu untuk keluarga berkurang. Orangtua melepas anak-anaknya mengikuti berbagai macam bimbingan diluar rumah dan merasa semua itu cukup untuk masa depan mereka, benarkah?. Lalu apakah bimbingan dari orangtua meraka sendiri menjadi tidak penting? Menyerahkan anak sepenuhnya pada orang lain untuk dibimbing. Begitukah? Rumah seolah hanya menjadi tempat untuk tidur. Pembelajaran, kehagatan dan kedamaian yang seharusnya ada seolah menguap bersama kesibukan masing-masing.
“Aku tu kasian sama bapakku, Mal. Masa pulang-pulang bukannya dikasih makan malah diomeli sama mama ku, disuruh nyuci baju dulu baru makan.” Keluh Jingga.
“Kok bisa?”
“Mama kubilang, dia capek ngurusi rumah. Katanya kami enak pulang-pulang langsung makan, nggak tau gimana capeknya ngurus rumah.” Ucap jingga sambil terisak.
“Mama kamu ibu rumah tangga khan. Adek kamu juga sudah besar. Ibuku juga ibu rumah tangga, adek ku masih kecil-kecil tapi nggak pernah aku dengar ibu mengeluh gitu.”
“Padahal aku tau bapakku pasti capek, dari pagi sampe sore kerja. Kami keluar rumah khan bukan untuk senang-senang. Pulang malah di sambut kek gitu.” Air mata jingga tak hentinya mengalir.
Aku ikut merasakan kesedihan jingga, bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Emansipasi kah?. Aku tidak tau pasti alasan mengapa ada seorang ibu yang seperti itu, mungkin karna kejenuhannya. Yah, mungkin saja. Jenuh dengan rutinitasnya yang terkadang tak dihiiraukan hingga menuntut untuk diperhatikan. Lagi-lagi perhatian. Sampai saat ini aku mengatakan betapa pentingnya perhatian. Perhatian seorang ayah kepada anak dan istri, pehatian ibu kepada anak dan suami serta perhatian anak kepada orangtuanya, yah minimal itu harus ada. Tapi nyatanya? Mungkin ada hanya dengan cara yang berbeda.
“Kasih sayang itu nggak selamanya di tunjukkan dengan belaian. Kalau anaknya sudah besar masa mau ditimang-timang.” Tutur papa yang dapat membuatku terseyum.
“Kalau anaknya sudah besar ya bisa di tunjukkan dengan memenuhi kebutuhannya, memperhatikan pendidikannya.” Sambung papa.
Cara seperti inilah yang terkadang tak dipahami seorang anak. Penilaian yang berbeda membuat perhatian itu seperti tidak ada. Harapan keduanya yang tak sejalan sehingga bentuk kasih sayang tersamarkan. Yang diperlukan adalah pengertian. Mengerti satu sama lain. Yah, mungkin ini salah satu kunci istana menjadi terlihat sempurna selain perhatian.
Aku berbicara seperti ini bukan untuk menyalahkan orangtua atau siapapun, bukan pula mengajari siapapun. Hanya ingin mereka tau perasaan anak yang mungkin posisi ini sedang dihadapi anak mereka. Seseorang pernah mengeluhkan orangtuanya yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan, hingga waktu berlibur yang biasa mereka rasakan hanya menjadi kenangan masa lalu. Orangtuanya yang merasa kebahagiaan anak terjamin dengan uang yang dia berikan. Uang yang diberikan tidaklah dapat menggantikan arti kehadiran ayah dan ibu bagi seorang anak. Harta memang dapat membuat orang bahagia, tapi harta bukan sumber kebahagiaan.
Kota tepian, 13 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar